BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan
kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong
menolong diantara mereka. Karena
itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi
kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan
sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan
ketangan yang lainnya.
Dalam perkembangan konsep al-wadi’ah di berbagai dunia Islam
dijumpai berbagai bentuk, semakin bervariasi, dan pihak-pihak yang terlibat pun
semakin semakin beragam. Misalnya, giro pos dan tabungan yang dikelola oleh
pihak perbankan, pada dasarnya merupakan barang titipan yang dapat di ambil
setiap saat oleh orang yang menitipkan.
Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan
adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam
kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.
Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya dengan
batil.
B.
Tujuan
1.
Mengetahui wadi’ah
secara spesifik baik dalam definisi, dasar hukum, syarat maupun rukun dan pembagiannya
2.
Mengetehui pengaflikasian dalam perbankan
3.
Dapat mengetahui perhimpunan dana pada bank baik
dalam bentuk deposit maupun tabungan
C.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud dengan wadi’ah secara bahsa maupun secara istilah?
2.
Apa saja yang menjadi dasar hukum, syarat, rukun, macam-macam dan manfaat wadi’ah?
3.
Bagaimana pengaflikasian wadi’ah dalam perbankan?
4.
Bagaimana Perubahan Akad al-Wadi’ah dari Amanah menjadi
Ad-Dhamanah?
5.
Bagaimana menurut fatwa MUI
BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP TITIPAN ATAU SIMPANAN
(DEPOSITORI/AL-WAD’IAH)
A.
Pengertian wadi’ah
Secara bahasa al-wadi’ah ada
dua makna yaitu memberikan dan menerima, seperti seorang berkata, “awda’tuhu”
artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika al-Mal
Liyakuna Wadi’ah Indi) dan makna yang kedua seperti ucapan “aku memberikan
harta kepadanya untuk dijaganya” (I’tha’u al-Mal Liyahfadzhu wa fi Qabulihi).
[1]
Menurut istilah al-wadi’ah di jelaskan oleh para ulama
sebagai berikut:
1.
Menurut Hasbi Ash-Shidiqie, ialah
عَقْدُ مَوْضُوْعَهُ اِسْتِعَا نَضةُ اْلاِنْسَانِ بِغَيْرِ فِى
حِفْظِ مَاِلهِ
”Akad yang intinya minta
pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”.[2]
2. Menurut Syaikh Syihab al-Din al-qalyubi wa
Syaikh ‘Umairah, ialah:
اَلْعَيْنُ اَلَّتِى تُوْ ضَعُ عِنْدَ شَخْصٍ لِيَحْفَظَهَا
“Benda yang diletakkan pada orang lain
untuk dipeliharanya”.[3]
3. Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa
yang dimaksud wadi’ah, ialah:
الْعَقْدُ
اَلْمُقْتَضَ لِلْاِسْتِحْفَاظَ
“Akad yang dilakukan untuk penjagaan”. [4]
4.
Menurut ulama Hanafiyah, ialah:[5]
تَسْلِيْطُ الْغَيْرِ
عَلَى حِفْظِ مَالِهِ صِرِيْحًا اَوْدَلَالَةً
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik
dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.”
Misalnya, seseorang berkata kepada orang
lain, “saya titipkan sepeda saya ini pada anda”; lalu orang itu menjawab ”saya
terima”, maka sempurnalah akad al-wadi’ah; atau seseorang menitipkan
buku pada orang lain dengan mengatakan
“saya titipkan buku saya ini pada anda, lalu orang yang dititipi diam
saja (tanda setuju)”.[6]
5. Definisi lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabillah (jumhur ulama), ialah:
تَوْكِيْلُ فِى
حِفْظِ مَمْلُوْكِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
“mewakili orang lain untuk memelihara harta
tertentu dengan cara tertentu”[7]
6. Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya
barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga
baik-baik.[8]
Jadi Wadi’ah
adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang antara pihak yang diberi
kepercayaan (mutawda’) dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta
keutuhan barang/uang.[9]
B.
Dasar Hukum Wadi’ah
1.
Qur’an surat Al-baqarah ayat 283 yang artinya:
Artinya:
“jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya”.
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin,
kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau
melakukan jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Dar Al-Quthni dan riwayat Arar bi Syu’aib dari bapaknya
dari kakeknya bahwa nabi bersbda:
2.
Hadist Nabi SAW.
مَنْ اَوْدَعَ وَدِيْعَةً فَلَاضَمَا عَلَيْهِ (رواه الدارقطنى)
“Siapa saja yang dititipi, ia tidak bnerkewajiban menjamin” (H.R.
Daruqutni)[10]
3. Ijma
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah
melakukan ijma (konsensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal
ini jelas terlihat.[11]
C.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut hanafiyah rukun wadi’ah ada satu, yaitu ijab
(ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti “saya titipkan sepeda ini pada
engkau), dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi,
seperti “saya terima titipan sepeda anda ini”).[12]
Menurut Syafi’iyah memiliki tiga rukun, yaitu
1.
Barang yang dititipkan, syarat barang yang dititipkan adalah barang atau
benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
2.
Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima
titipan sudah balig, berakal, dan sesuai dengan syarat-syarat berwakil.[13]
3.
Shighat ijab dan qabul, disyaratkn pada ijab qabul ini dimengerti
oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.[14]
D.
Hukum menerima benda titipan
Hukum asalnya menitipkan dan menerima titipan adalah jaiz,[15]
selain itu hukum wadi’ah adalah sebagai berikut:
1.
Sunat ialah nagi orang yang dipercaya kepada dirinya bahwa dia sanggup,
menjaga denda-benda yang dititipkan kepadanya.
2.
Wajib ialah menerima benda-benda titipan bagi seserorang yang
percaya bahwa dirinya sanggup menerima menerima dan menjaga benda-benda
tersebut, sementara orang lain tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk
memelihara benda tersebut
3.
Haram ialah apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup
memelihara benda-benda titipan
4.
Makruh ialah bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa
dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada
kemampuannya[16]
E. Macam Wadiah
Wadiah dapat dibedakan menurut tiga hal:
tujuan, praktik dan tanggung jawab[17]
a. Dari segi tujuan terbagi dua, yaitu:
1) Al-wadi’ah al-tijariyah, ialah titipan
barang dari pemilik kepada pihak lain untuk diperdagangkan, seperti pemilik
kendaraan menitipkan mobilnya kepada Showroom
2) Al-wadi’ah al-adabiyah, ialah menitipkan
barang agar dijaga atas dasar kepercayaan.
b. Dari sisi praktik dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu:
1) Al-wadiah al-lazimah, ialah penitipan
barang Karenna terpaksa seperti gempa bumi.
2) Al-wadi’ah al-naqishah atau al-wadi’ah
al-matsaliyah, ialah wadi’ah ini sama dengan wadi’ah al-tijariyah.
3) Al-wadi’ah al-jariyah, ialah penitipan
alat-alat rumah tangga agar dijag aoleh pihak lain.
4) Al-wadi’ah al-hirasah, ialah penitipan
barang untuk dijaga dengan salah satu dari dua alas an:
a) Penitipan barang yang bersifat suka rela
b) Penitipan barang yang bersifat terpaksa
c.
Wadi’ah dari segi tanggung jawab
terbagi dua, yaitu wadi’ah yad al-dhamanat
dan wadi’ah yad al-amanat
1)
Wadi’ah yad al-dhamanat
Wadiah yad al-dhamanat yaitu penitipan barang kepada pihak lain
yang selama belum dikembalikan kepada penitip/pemilik, pihak yang menerima
titipan diperbolehkan memanfaatkan barang titipan. Keuntungan dari pemanfaatan barang menjadi hak
peneriama titipan barang, dan kepada pemilik dapat diberikan bonus yang tidak
disyaratkan sebelumnya. Akan tetapi jika barang tersebut mengalami kerusakan
atau hilang makatitipan bertanggung jawab atas hal tersebut.
2)
Wadi’ah yad al-amanat
Wadi’ah yad al-amanat Ialah
penitipan barang kepada pihak lain dan barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan
oleh penerima titipan. Jika terjadi kerusakan maka pihak yang mernerima titipan
tidak tertuntut tanggung jawab atas kerusakan tersebut. Ia adalah titipan
murni, tetapi sebagai konvensasi tranggungjawab pemeliharaan penitip dapat
dikenakan biaya.
Dalam
syariah Nasional telah mengeluarkan ketentuan mengenai giro yang dapat
diterapkan dalam sistem wadi’ah, yaitu pada fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000.
Pada fatwa ini, giro yang berdasarkan wadi’ah ditentukan bahwa:
1.
Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
2.
Titipan (dana) ini bisa diambil kapan saja (on call)
3.
Tak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat suka rela dari pihak bank.
Sedangkan tabungan diatur dalam fatwa DSN No.
01/DSN-MUI/IV/2000. Pada Fatwa ini,
disebutkan mengenai tabungan berdasarkan wadi’ah, yaitu:
1.
Dana yang disimpan di bank adalah bersifat simpanan
2.
Simpanan ini bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan
kesepakatan
3.
Tak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat suka rela dari pihak bank.[18]
F.
Perubahan Akad al-Wadi’ah dari Amanah menjadi Ad-Dhamanah
1.
Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila
seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha
mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia di anggap melakukan kesalahan, karena
memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia
dikenakan ganti rugi (adh-dhamanah).[19]
2.
Orang yang dititipi al-Wadi’ah mengingkari al-wadi’ah itu.
Apabila pemilik barang meminta barang
kembali barang titipanya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang disebut
terakhir ini mengingkarinya atau ia sembunyikan, sedangkan ia mampu untuk
menembalikannya, maka ia dikenakan ganti rugi, hukum ini sepakat seluruh ulama
fiqh.[20]
3.
Barang titipan dibawa bepergian (as-safar). Apabila orang
yang dititipi melakukan suatu perjalanan yang panjang dan lama, lalu ia bawa
barang titipan itu dalam perjalannya, maka penitip barang boleh meminta ganti rugi.[21]
G.
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghinpunan Dana
1.
Giro dan tabungan atas dasar akad wadi’ah, berlaku syarat sebagai
berikut:[22]
a.
Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak
sebagai penitip dana.
b.
Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data
pribadi nasabah.
c.
Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus
kepada nasabah,
d.
Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan
penggunaan produk Giro atau tabungan atas dasar akad wadi’ah, dalam
bentuk perjanjian tertulis,
e.
Bank menjamin pengembalian dan titipan nasabah.[23]
2.
Giro atas dasar akad Mudharabah, berlaku syarat sebagai berikut:
a.
Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal),
b.
Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data
pribadi nasabah.
c.
Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati,
d.
Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan
penggunaan produk Giro atau tabungan atas dasar akad mudharabah, dalam
bentuk perjanjian tertulis,
e.
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan nasabah.[24]
3.
Tabungan dan deposito atas dasar akad mudharabah, barlaku
syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal),
b.
Pengelola dana oleh Bank dapat dilakukan sesuai batasan-batasan
yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau
dilakuakan dengan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah
mutlaqah),
c.
Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data
pribadi nasabah.
d.
Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan
penggunaan produk tabungan dan deposito
atas dasar akad mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis,
e.
Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati.[25]
H.
Aplikasi Wadi’ah dalam Perbankan Syariah
Menagacu pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat
memanfaatkan al-wadi’ah. Akan
tetapi di era perekonomian modern ia tuntut untuk memanfaatkan barang titipan,
dan oleh karena itu, sebelum ia memanfaatkannya terlebih dahulu harus meminta
ijin kepada penitip selaku pemilik barang. Pihak yang menerima titipan bahwa
aset tersebut akan dikembalikan secara utuh kepada pemilik.
Dalam posisi ini, penerima titipan beralih dari yad al-amanah ke yad
adh-dhamanah dan wadi’ah jenis terakhir ini yang lebih banyak dipraktikan di
perbankan syariah. Wadi’ah yad adh-dhamanah dalam ranah perbankan syariah dipergunakan
untuk dua hal: pertama, untuk giro (current account), dan kedua, tabungan (saving account).[26]
I.
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
Pengaturan mengenai Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)
diataur dalam peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari
2000 jo. No. 6/9/PBI/2000 tentang sertifikat Bank Indonesia. Sertifikat Wadi’ah
Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indosia sebagai bukti
penitipan dalan jangka pendek dengan prinsip wadi’ah (pasal 1 ayat 4). Selain itu
Dewan Syari’ah Majlis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa yang menguatkan
SWBI, yaitu fatwa DSN No. 36/ DSN-MUI/ X/ 2002 yang dikeluarkan tanggal 23
Oktober 2002 M atau 16 Sya’ban 1423 Hijriyah.
SWBI merupakan instrument kebijakan moneter yang bertujuan untuk
mengatasi kesulitan kelebihan likuiditas pada bank yang beroperasi dengan
prinsip syariah. SWBI mempunyai beberapa kareteristik sebagai berikut:
1.
Merupakan tanda bukti penitipan dana berjangka pendek.
2.
Diterbitkan oleh bank Indonesia.
3.
Merupakan instrument kebijakan moneter dan sarana penitipan dana
sementara.
4.
Ada bonus atas transaksi sementara.[27]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep al-wadi’ah yang dibicarakan dalam fiqih Islam, di Indonesia
dipraktikan pada bank-bank yang menggunakan sistem syri’at. Seperti di Bank
Muamalat Indonesia (BMI). Bank Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah dengan
titipan murni yang dengan seijin penitip boleh digunakan oleh bank. Konsep
al-wadi’ah yang dikembangkan Bank Muamalat Indonesia adalah wadi’ah yad adh-dhamanah
(titipan dengan resiko ganti rugi). Oleh sebab itu, al-wadi’ah
oleh para fakar fiqh disifati dengan yad al-amanah (dengan resiko ganti
rugi).
Konsekuensinya adalah jika uang
itu dikelola pihak Bank Muamalat Indonesia dan mendapatkan keuntungan, maka
seluruh keuntungan menjadi milik bank. Disamping itu, atas kehendak Bank
Muamalat Indonesia, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan pemilik uang, da[at
memberika semacam bonuskepada para nasabah al-wadi’ah. Dalam hal ini praktik
al-wadi’ah di Bank Muamalat Indonesia sejlan dengan pendapat Hanafiyah dan
Malikiyah.
DAFTAR PUSTAKA
· Suhendi, Hendi.
2010. Fiqih Muamalah. Bandung: PT
Raja Grafindo Persada.
· Hakim, Abdul Atang. 2010. Fiqih
Perbankan Syariah. Bandung: Refita aditama.
· Antonio,
Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani.
· Qadamah, Ibnu.
1978. Al-Mughni, (Riyadh:
Muktabarah ar-Riyadh al-Hadithsah), Bairut: Dar al-Fikr.
· Anshori, Abdul
Ghafur. 2009. Hukum Perbankan Syariah.Bandung: PT Refika Aditama.
· Jahiri, Al-Abdurrahman.
1969. Al-Fiqh ‘Ala mazahib al-‘Arabah
· Shiddiqie,Hasbi Ash. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
· Sjahdeini, Sutan Remy. 2005. “Perbankan Islam”. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
· ‘Umairah, Syaikh
Syihab al-Din. Qalyubi Umairah. (Dar
al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah: t.t.).
· Perwaatmadja, Karnaen dan Muhammad Safi’i Antonio. 1992 . “Apa
dan Bagamana Bank Islam”. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
· Sabiq, Sayyid. 1988 . “Fiqh
Sunnah”. Bandung: Pustaka.
· Haroen, Nasrun. 2007 . “Fiqh
Muamalah”. Jakarta: Gaya Media Pratama,
· Al-Bajuri,
Ibrahim. Al-Bajuri. (Usaha Keluarga: Semarang, t.t )
· Ahmad, Idris.
1986. fiqh al-Syafi’iyah. (Jakarta:
Karya Indah)
· Wirdayaningih,
dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
· Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. (al-Tahairriyah:
Jakarta, 1967).
· Hakim, Atang Abdul. 2011. Fiqh Perbankan Syari’a. Bandung: PT
Refika Aditama.
· Dewi, Gemala.
2007. Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
Jakarta: Kencana.
· ‘Abidin, Ibnu. Radd Al- Muhtar’ala ad-Durr
al-Mukhtar. Mesir: al Amiriyah.
· Al-Khathib, Asy-Syarbaini. 1982. Mughni al-Muhtaj.
Bairut: Dar al-Fikr.
· Ad-Dardir. Asy-Syarh
al-kabir’ala
Hasyiyah ad-Dasuqi. Bairut: Dar al-Fikr.
· Al-Kasani,
Imam. al-Bada’i’u ash-Shana’i’u. Bairut: Dar al-Fikr.
· Al-Humman, Kamal ibn. 1980. Fath Al-Qadir Syarh Al-Hidayah. Bairut: Dar al-Fikr.
Download Klik disini
[1] Abdurrahman
al-Jahiri, Al-Fiqh ‘Ala mazahib al-‘Arabah, tahun 1969. Hlm. 248.
[3] Syaikh Syihab al-Din ‘Umairah, Qalyubi Umairah, (Dar al-Ihya
al-Kutub al-Arabiyah: t.t.), hlm. 180.
[5] Kamal ibn al- Humman, Fath Al-Qadir Syarh Al-Hidayah, Bairut: Dar
al-Fikr, Jilid VII,
hlm. 88 dan lihat juga Ibnu ‘Abidin, Radd Al- Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar,
Jilid IV, hlm. 515.
[6] Sutan Remy Sjahdeini, “Perbankan Islam”, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2005, cetakan ke-2, hlm. 56.
[7] Asy-Syarbaini
al- Khathib Mughni al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Fikr, jilid III,
hlm. 79, dan ad-Dardir, Syarhal-kabir’ala Hasyiyah ad-dasuqi, Bairut:
Dar al-Fikr, jilid III, hlm. 419.
[9] Wirdayaningih,
dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, cetakan ke-2, hal. 103
[11] Karnaen
Perwaatmadja dan Muhammad Safi’i Antonio, “Apa dan Bagamana Bank Islam”,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 18
[15] Sayyid Sabiq,
“Fiqh Sunnah”, Bandung: Pustaka, 1988, cetakan ke-1, hlm. 72
[17] Atang Abdul Hakim, Fiqh Perbankan Syari’ah, Bandung:
PT Refika Aditama, 2011, cetakan ke-1, hlm. 207
[18] Op cit.
Wirdayaningsih, hlm. 104
[19] As-Sarakhsi, al-Mabsuth,
Jilid XI, hlm. 113
[20] Asy-Syirazi, Al-Muhazzab,
jilid I, hlm. 264
[21] Ibnu Qadamah, Al-Mughni,
(Riyadh: Muktabarah ar-Riyadh al-Hadithsah), Bairut: Dar al-Fikr,
1978, hlm. 401
[23] Abdul Ghafur
Anshori, Hukum Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2009,
cetakan ke-1, hlm. 41
[24] Ibid. Hlm. 42
[25] Ibid. Hlm. 43
[26] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2009, cetakan ke-13, hlm. 87
[27] Gemala Dewi, Aspek
Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2007, cetakan ke-4, hlm. 113.
No comments:
Post a Comment