BAB l
PENDAHULUAN
I.
Diskripsi masalah
Secara
teknis, keja sama dalam bidang perkebunan atau agrobisnis sudah lama dilakukan
baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sudah banyak hasil panen yang
dihasilkan dari kerja sama itu. Banyaknya hasil panen tersebut disebabkan
karena kegunaan buah pada saat ini bisa dikatakan multi fungsi. Pada asalnya,
buah hanya menjadi makanan murni yang bisa dinikmati apa adanya, namun buah
saat ini juga biasa digunakan sebagai campuran minuman atau selainnya. Namun, berdasarkan kebiasaan yang
berlaku, akad yang dilakukan oleh pemilik kebun dan tukang kebun adalah akad
kontrak kerja, dalam artian tukang kebun merawat kebun tersebut dengan upah
bulanan atau mingguan yang sudah ditentukan. Jarang sekali bahkan sulit sekali
ditemukan kerja sama antara pemilik kebun dan tukang kebun menggunakan sistem
bagi hasil. Sistem upah atau kontrak kerja yang biasa dilakukan tersebut telah
berlaku turun temurun sampai sekarang.
Padahal
jika kembali kepada ajaran Islam, kerja sama perkebunan yang dianjurkan adalah
kerja sama dengan menggunakan sistem bagi hasil. Dalam konteks ini, pemilik
kebun dan tukang kebun akan berbagi hasil setelah panen atas buah yang telah
dihasilkan. Sementara itu pembagian hasil tersebut ditentukan terlebih dahulu
diawal akad. Kerja sama ini dinamakan akad musaqah.
Makalah
ini akan membahas lebih dalam mengenai kerja sama perkebunan (musaqah) yang
dianjurkan oleh Islam. Disamping itu, segala hal yang berkaitan dengan teknis,
syarat, rukun dan relevansi musaqah juga akan dibahas dalam makalah ini.
II.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana teknis pelaksanaan musaqah yang benar menurut Islam?
2.
Apa saja landasan hukum yang mengatur tentang musaqah?
3.
Bagaimana relevansi musaqah di perekonomian modern?
III. Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk mengetahui teknis pelaksanaan musaqah yang benar menurut Islam.
2.
Untuk mengetahui landasan hukum Al Quran dan Hadits yang mengatur tentang
musaqah.
3.
Untuk mengetahui relevansi musaqah di perekonomian modern.
BAB II
MUSAQAH
A.
Pengertian Musaqah.
Secara
etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang
artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga
berubah menjadi musaqah.
Secara
terminologi, Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak
hanya dalam hal redaksional seperti pendapat mereka dalam mengartikan akad-akad
yang lain, namun juga menyangkut masalahsubtansial dari musaqah itu sendiri.
Wahbah
Zuhaily yang tenar sebagai Fuqoha kontemporer mendefinisikan Musaqah sebagai
berikut:
عبارة
عن العقد على العمل بالشجر ببعض الخارج, او هي معاقدة على الاشجر الى من يعمل فيها
على ان الثمرة بينهما
"Musaqah
secara fiqh adalah sebuah istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan
dengan pepohonan dengan sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau
perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang yang menggarapnya dengan
ketetapan buah itu milik keduanya. "
Pengistilahan
az-Zuhaily tersebut berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, menurut mereka Musaqah
adalah:
ان
يعامل شحص يملك نخلا اوعنبا سخصا اخز على ان يباشر ثنيهما النخل او العنب بالسقي
والتربية والحنظ ونحو ذالك وله في نظير عمله جزاء معين من الثمر اللذي يخرج منه
“Orang
yang memilki pohon tamar (kurma) dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang
lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya, dan
bagi pekerja ia memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari
pohon-pohon tersebut.”
Imam
al-jaziri, penulis kitab madzahibul Arba’ah merumuskan pengertian musaqah
sebagai berikut: “akad untuk memelihara pohon ; kurma, tanaman (pertanian) dan
yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Hasby
as-shiddiqy yang dikenal sebagai ahli hukum islam Indonesia mengartikan musaqoh
secara global dan ringkas, yakni:
شركة
زراعية على استثمار الشجر
“
kerjasama perihal tanaman menyangkut buah-buahan dari pepohonan”.
B.
Pendapat ulama mengenai Musaqah dan Landasan Hukumnya.
1.
Pendapat yang membolehkan.
Ibnu
Rusyd dalam Bidayatul mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam Malik,
ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah
pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil.
Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang
menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas.
Mereka
berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi:
ان
رسول الله صلى الله عليه وسلم رفع ال يهود خيبر نخل خيبر وارضنا على ان يعملوها من
اموالهم ولرسولله صلى الله عليه وسلم شطر ثمرها (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah
menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar
dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah
adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam
satu riwayat juga disebutkan:
انه
صلى الله عليه وسلم سا قاهم على نصف ما تخرجه الرض والثمرة (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah
saw. Mengadakan transaksi muusaqah dengan mereka (Yahudi Khaibar) atas separuh
dari hasil tanah dan buah”(HR. Bukhari-Muslim).
Menurut
Imam Malik bahwa masaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat,
seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan
dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka,
dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut
Madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat
dimakan, dalam kitab al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk
pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.
Menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat
di-musaqah-kan, seperti tebu.
Ulama-ulama
fiqh kontemporer juga mengikuti pendapat ini, di antaranya adalah Wahbah
az-Zuhaili (pengarang Fiqh al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang
fiqh as-Sunnah), dan Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di
Indonesia, ulama sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun
,dan syarat Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
pasal 266, 267, 268, 269, dan 270.
2.
Pendapat yang tidak membolehkan.
Ibnu
Rusyd juga menuliskan, menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti
pendapatnya , Musaqah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa
hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan,
itu bertentangan dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut
merupakan keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi
saw. terhadap orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin
pula sebagai warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika
mereka itu dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggaan ini berlawanan
dengan aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu
yang belum terjadi.
Abu
Hanifah juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat
dipandang halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang
populer saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak
salah satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau
memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut
terlarang.
Jika
dikaji lebih lanjut, Abu Hanifah memang pada awalanya sudah mengharamkan akad
muzara’ah. Lebih dari itu, beliau dan pengikutnya menyamakan musaqah dan
muzara’ah karena Illat yang paling mempengaruhi terhadap pendapat mereka ialah
hasil dari akad ini belum ada ( المعدوم)
dan tidak jelas (الجهالة) ukurannya sehingga
keuntungan yang dibagi sejak semula tidak jelas.
Landasan
hadits yang digunakan Abu hanifah adalah :
من
كانت له ارض فليزرعها ولا يكريها بثلث ولا بربع ولا بطعام مسمى (متفق عليه)
“
barangsiapa yang memiliki tanah hendaklah mengelolanya, tidak boleh
menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan memakan
yang ditentukan”
3.
Pendapat yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur.
Ini
adalah pendapat golongan syafi’iyah. Untuk kebolehan keduanya, mereka mempunyai
alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa bagi
hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku pada
semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan dasar
Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil itu
melalui taksiran atas tangkai .
Mereka
mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Utab bin Usaid r.a;
ان
رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه وامره ان يخرص العنب وتوءديزكاة النخل تمرا
(اخرجه ابو داوود)
“Rasulullah
saw. mengutus utab dan menyuruhnya untuk menaksir angggur ditangkainya,
kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga
dikeluarkan berupa kurma kering (tamar)”
Dalam
hadits diatas disebutkan tentang penentuan melalui taksiran atas tangkai pada
pohon kurma dan anggur, hal itu berkenaan dengan zakat. Maka seolah-olah
syafi’I mengqiyaskan bagi hasil itu pada pohon-pohon tersebut dengan zakat.
Dawud (ad-dzahiri-pen.) menolak hadits ini dengan alasan hadits tersebut mursal
dan yang meriwayatkan hanya Abdurrahman bin Ishaq, padahal ia bukan orang yang
kuat hafalan dan integritasnya.
C.
Perbedaan Musaqah dan Muzara’ah.
Wahbah
az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat,
yaitu:
1.
Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan
akad, maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak
akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah,
apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh
dipaksa meneruskan, karena akan menimbulkan dlarurat bila diteruskan. Lebih
dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad
ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.
2.
Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan
penggarap menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan
dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, karena
bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
3.
Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan
dalam muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak
mendapatkan apa-apa.
4.
Dalam musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup
hanya dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda
dengan menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari
perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal
madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.
D.
Rukun dan Syarat Musaqah
Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada
mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam
mujara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya
dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul
dalam musyaqah, seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup
dengan menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan
lafadz (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.
Jumhur
Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu berikut ini.
1.
Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani
disyaratkan harus baligh dan berakal
2. Objek musyaqah
Objek
musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti
kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan
musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan
dan siraman.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti
kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti
anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a.
Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
b. Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang
dapat dimakan.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan
anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang
Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari
segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis
pepohonan.
3.
Buah
Disyaratkan
menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
4.
Pekerjaan
Disyaratkan
penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja
atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama
mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal
berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama
Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah
sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan
orang khaibar.
5.
Sighat
Menurut
Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad
musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang
terpenting adalah maksudnya. Bagi
orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti
pada ijarah. Menurut Ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak
disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya. Apabila waktu lamanya musaqah tidak
ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu
menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah
secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Secara
rinci, Sayyid Sabiq mengemukakan syarat-syarat musaqaah sebagai berikut .
a.
Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat –
sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila
tidak diketahui dengan jelas
b.
Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah
akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan
ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa
penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
Menurut
kalangan madzhab Hanafi apabila jangka waktu musaqah telah berakhir sebelum
buahnya matang maka pohon itu wajib dibiarkan kepada pihak penggarap, agar ia
tetap menggarap hingga pohon tersebut berbuah matang.
c.
Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu,
pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut
sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan
penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan
lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
d.
imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas
misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk
penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja,
atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah
E. Ketentuan-ketentuan Lain dalam
Pelaksanaan Musaqah.
a.
Tugas Penggarap.
Kewajiban
penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah bahwa musaqi berkewajiban
mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya
untuk mendapatkan buah, ditambahkan pula untuk setiap pohon yang berbuah
musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan
pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah dan pertumbuhan
batangnya.
Adapun
yang dimaksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang tiap tahun
adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (incidental),
seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak
atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan
pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
b.
Hukum Musyaqah Sahih dan Fasid (Rusak)
1.
Hukum musyaqah Sahih
Musyaqah
sahih menurut para Ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan .
Menurut
Ulama Hanafiyah, hukum musyaqah sahih adalah berikut ini.
a.
Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada
para penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b.
Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c.
Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa
d.
Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad
tidak dapat membtalkan akad tanpa izin salah satunya.
e.
Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
f.
Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
g.
Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika
diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa
dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan
pekerjaannya.
Ulama
Malikiyah pada umunya menyepakati hokum-hukum yang ditetapkan ulam Hanafiyah di
atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan:
a.
Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak
boleh disyaratkan
b.
Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi
oleh penggarap
c.
Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban
penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
Ulama
Syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi
pekerjaan penggarap di atas, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin
setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin
adalah kewajiban pemilik tanah.
2.
Hukum dan Dampak Musyaqah Fasid
Musyaqah
fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan musyaqah fasidah menurut ulama
Hanafiyah, antara lain:
1.
Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
2.
Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad
3.
Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan
4.
Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan kepada penggarap hanya berkewajiban memelihara
tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal
tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad
5.
Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian
6.
Mensyaratkan kepada penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
7.
Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan
8.
Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.
Dampak
musyaqah fasid menurut para ulama:
1.
Dampak musyaqah fasid menurut ulama Hanafiyah:
a.
Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja
b.
Semua hasil adalah hak pemilik kebun
c.
Jika musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah
2. Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqah
rusak sebelum penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila musyaqah
rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan musyaqah, penggarap
berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di
antara contoh musyaqah fasidah menurut golongan ini adalah penggarap
mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap
bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun
demikian, jika musyaqah rusak karena kemadaratan atau ada halangan, masalah
musyaqah tetap diteruskan sekadarnya (musyaqah mitsil).
3. Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah
penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si
penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan
manfaat dari jerih payahnya dalam musyaqah.
Di
antara hal-hal yang menyebabkan musyaqah rusak, menurut golongan ini, adalah
dua pihak tidak mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan uang dengan
jumlah yang ditentukan; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik
harus bekerja; mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.
c.
Habis Waktu Musyaqah
Menurut
Ulama Hanafiyah
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagaimana dalam mujara’ah dianggap
selesai dengan adanya tiga perkara:
1.
Habis waktu yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
Jika
waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti.
Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja diluar waktu yang telah
disepakati, ia tidak mendapatkan upah. Jika
penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan
tiga hal:
a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu
b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik
c.
Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti
pembiayaan.
2.
Meninggalnya salah seorang yang akad
Jika
penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun
pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap
meneruskan pemeliharaanya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya.
Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah
ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada
pemilik tanah.
3.
Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
Di
antara uzur yang dapat membatalkan musyaqah:
a.
Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan
yang digarapnya.
b. Penggarap sakit sehingga tidak dapat
bekerja.
Menurut Ulama Malikiyah
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan
demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi,
jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musyaqah
dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat
zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk
bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah
yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan
bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan dengan
pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.
Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun
diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus
diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika
pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggungjawab penggarap dicabut kemudian
diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut
ulama Syafi’iyah, musyaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah
habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir
waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan
meneruskan pekerjaannya.
Musyaqah
dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika
pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjannya sampai mendapatkan
hasilnya. Akan tetapi, jika ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad
menjadi batal.
Menurut
Ulama Hanabilah.
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad
yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari musyaqah
dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut
dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap
memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap
berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika
penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan
oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi
hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari
tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut
diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musyaqah
sempurna. Jika penggarap
kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia
dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika
pemilik membatalkan musyaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan
upah atas pekerjaannya. Apabila
ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk
mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang lain, tetapi
tanggungjawabnya tetap ditangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama
Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil
alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama
Hanabilah pun berpendapat bahwa musyaqah dipandang selesai dengan habisnya
waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut
kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan
apa-apa.
F. Masalah-masalah yang Terjadi
dalam Musaqah.
a.
Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Penggarap
terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada
di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena
sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit
atau bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal), apabila
dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung
(tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak
menjadi batal, akan tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya
selama ia berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi.
Apabila
penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon, sedangkan
penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam malik, penggarap berkewajiban
menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon,
orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah karena
orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan perjanjian. Sedangkan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa musaqah adalah batal, apabila pengelola tidak lagi
mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun atau di sawah yang
di musaqah-kan, sebab penggarap telah kehilangan kemampuan utuk menggarapnya.
b.
Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut
Mazhab hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan
pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun
belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga kemaslahatan, maka penggarap
melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa
orang ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen,
sekalipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik
keberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa
fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila
penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau
fasakhnya akad, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi jika mereka memetik buah
yang belum layak untuk dipanen, maka hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik
atau ahli warisnya, maka dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa
hal, sebagai berikut:
1.
Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati
2.
Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang, karena dialah
yang berhak memotong atau memetik
3.
Pembiayaan pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian hal ini
dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai
harganya (uang).
G. Relevansi Musaqah dalam
Perekonomian Modern.
Musaqah
seperti yang sudah dibahas sebelumnya merupakan akad kerjasama dalam pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang
benihnya berasal dari pemilik lahan. Aplikasi
dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang
dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung
jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I
Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima
prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan
(depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease
and financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit
sharing).
Dalam
prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah,
mudharabah, muzara’ah, dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini,
yaitu musaqah (plantantion management fee based on certaain portion of yield).
Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi
nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil
dari hasil panen kebun.
Dari
semua pendapat ulama mengenai objek musaqah, tentuna yang lebih relevan adalah
pendapat yang memboilehkan musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik
yaang berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika
melihat pendapat ulama yang membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan
anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman yang lain yang juga mempunyai
banyak manfaat. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang bisa menggarap
kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang mempunyai skill untuk
merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun. Dari sinilah, hubungan antara
pemilik kebun dan tukang kebun saling melengkapi.
Contoh
konkritnya diperbankan adalah ketika seorang nasabah bekerja sama dengan bank
yang mengembangkan dananya melalui sektor riil semacam agrobisnis dan
perkebunan. Dalam hal ini, bank mencari seseorang atau beberapa pekerja yang
dijadikan sebagai tukang kebun yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling
inti adalah menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka
bank dan tukang kebun berbagi hasil sesuai dengan prosentase yang sudah
ditentukan pada awal akad.
BAB
II
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari
penjelasan musaqah yang ada dalam makalah ini, musaqah sebenarnya kerja sama
perkebunan yang dianjurkan oleh Islam dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW
pada waktu atau pasca perang khaibar seperti yang tertera dalam Hadits Nabi
yang menjadi landasan hukum musaqah dalam makalah ini.
Memang,
sebagai bagian dari objek pembahasan ilmu fiqh, musaqah juga tidak lepas dari
ikhtilaful ulama, baik dalam hukumnya, syarat, dan lain sebagainya. Namun,
sebagian ulama fiqh klasik dan jumhur fuqaha kontemporer sudah sepakat atas
kebolehan musaqah dengan ketentuan – ketentuan yang sudah diatur secara rinci.
Hal ini karena pendapat ini selain sudah mempunyai dasar yang kuat namun juga
lebih relevan untuk diterapkan diera modern, baik dilembaga keuangan seperti
bank maupun dalam hubungan masyarakat.
B. Saran.
Dengan
selesainya penulisan makalah ini, sebagai pembelajaran lebih lanjut, kami
berharap saran dan kritik terhadap semua yang berkaitan dengan makalah ini,
baik dari Ustadz Nur Yasin pada khususnya maupun semua pembaca pada umumnya.
Semoga
makalah kecil ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan bisa mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari – hari. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaily, Wahbah. 2002. Fiqh Al-Mu’amalah Al-Mu’ashirah,
Damaskus: Dar al-fikr
Syafi’ie, Rachmat. 2006. Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, cet Ke-III.
Suhendi,Hendi, 2002. Fiqh Muamalah, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Abdul
Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Ruysd, 2007. Bidayatul Mujtahid,
(dalam terjemahan Bahasa Indonesia), Jakarta: Pustaka Azami, cetakan ke III.
Jilid 3.
Hasan,M.Ali, 2004, Berbagai Macam Transaksi
dalam Islam, Jakarta: Grafindo
Persada, cet II
www.sofyanhotel.com.
Diakses: Sabtu, 07 November 2009.
Sabiq, sayyid, 2006, Fiqh sunnah (terjemah
bahasa indonesia), Jakarta: Pena, jilid 4
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah, 2008.
No comments:
Post a Comment