BAI’ AL-ISTISHNA
1.
Konsep Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi antara penjual dan pembeli antara
mustashni’ (pemesan) dengan shani’ (produsen), dimana barang yang diperjual
belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan kriteria
yang jelas.
Secara terminologi, istishna itu sendiri adalah minta dibuatkan.
Dengan demikian, menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena
objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan cirri-ciri
tertentu seperti halnya salam. Bedanya dengan salam adalah pada sistem
pembayarannya. Salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedangkan
istishna boleh di awal, di tengah, atau di akhir setelah pesanan diterima.
Dalam fatwa DSN MUI, Jual beli istishna merupakan suatu transaksi
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati anatara pemesan dan penjual.
Jual beli istishna adalah jual beli yang belum jelas objek
transaksinya, tetapi aka nada/siap sesuai kesepakatan anatara konsumen dan
produsen,. Sebagian ulama menyatakan sebagai transaksi yang fasid (rusak),
karenanya terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka. Seperti ulama mazhab
Syafi’i melarang akad istishna, karena menurut mereka bertentangan dengan
kaidah umum yang berlaku, yaitu objek yang ditransaksikan harus nyata. Menurut
mereka akad istishna termasuk ke dalam bai al-ma’dum (jual beli sesuatu yang
tidak ada) yang dilarang syara’.
Menurut kami, tujuan
transaksi istishna adalah untuk mempermudah nasabah melakukan jual beli
terutama dalam hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan
nasabah/pembeli tidak cukup biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan
kemudahan dalam pembiayaan nasabah kepada penjual.
Mengingat istishna merupakan lanjutan dari jual beli salam, maka
secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam berlaku pula pada
istishna.
Ulama mazhab Hanafi, membolehkan akad ini, karena didalamnya
terdapat kebutuhan orang banyak yang karenanya kebutuhan konsumen tidak
selamanya sama dengan barang yang telah diproduksikan, maka akad ini termasuk
akad tolong menolong antara konsumen dan produsen.
Ahmad al-Hajal Kurdi, pakar fiqih Universitas Damascus, suriah,
memandang pandangan ulama Hanafiah sangat relevan, karena hasil komoditi
produksi sesuai dengan pesanan, baik untuk skala local, nasional, mauppun
internasional. Karenanya jika akad ini dianggap tidak sah, maka dunia modern
dengan kemajuan teknologinya yang memberlakukan akad seperti ini akan menemui
kesulitan dan kemadaratan bagi kehidupan manusia secara umum, sementara hukum
syara’ bertujuan untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi umat
manusia, maka menurutnya akad ini sulit untuk ditolak, sesuai kaidah ynag
mengatakan al ‘adatu muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi hukum).[1]
Menurut jumhur fuqaha, istishna merupakan suatu jenis khusus dari
akad salam. Bisanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad salam.[2]
a.
Rukun dan Syarat Istishna
Rukun.
·
Aqid (orang yang berakad, yaitu shani’ dan mustashni’ yang telah baligh
dan mumayyiz)
·
Ma’qud ‘alaih (objek akad berupa mashu’ dan tsaman)
·
Sighat (ijab qabul)
Syarat.
·
Mashnu’ (Menjelaskan jenis, bentuk, kadar, sifat, kualitas, kuantitas) agar lebih jelas mengenai hal yang disebutkan
ketentuan tersebut kami rincikan seperti terdapat dalam fatwa DSN tentang
ketentuan barang dalam istishna[3].
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahan dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
·
Tsaman (Diketahui semua pihak, bias dibayar saat akad, dicicil/ tangguh) dan ketentuan tersebut pula dapat dirincikan
berdasarkan fatwa DSN mengenai ketentuan pembayaran dalam istishna’[4].
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Dalam fatwa DSN selain ketentuan diatas
terdapat pula ketentuan lain[5], yaitu
sebagai berikut:
1. Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukum
mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku
pula pada jual beli istishna.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2.
Landasan Hukum Istishna
a.
Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[6];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29)
Mengapa
kami mengutip qur’an surat an-nisa ayat 29, karena menurut kami ayat ini
memerintahkan untuk tidak memakan harta sesamu dengan cara yang batil,
hubungan dengan istishna adalah dalam pengaplikasiannya kita dilarang untuk
bertransaksi dengan cara merugikan orang lain atau tidak saling meridhoi antara
kedua pihak, akan tetapi kita harus antarodin (saling meridhoi) dalam istishna
jika terjadi wanprestasi maka akad batal karena ada kerugian yang diterima oleh
salah satu pihak (bathil). Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku, maksudnya
adalah jual beli yang berlaku yaitu istishna, dengan suka sama-suka diantara
kamu, maksudnya adalah apabila akad ini disukai berikut dengan ketentuan
yang berlaku pada akad ini, dan prestasi antara kedua pihak telah terpenuhi
(suka sama-suka) dengan tidak adanya wanprestasi, maka istishna ini menurut
kami diperbolehkan berdasarkan ayat ini.
b. As-Sunnah
الصلح جاءز بين المسلمون
الا صلحا حرم حلا لا او احل حراما والمسلمون على شروطهم الا شرطا حرم حلالا او احل
حرما (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف)
"Perdamaian dapat dilakukan
diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi
dari ‘Amr bin ‘Auf).
Hadis Nabi:
لاضرار ولاضرار (رواه ابن
ماجه والدارقطني وغير هما عن ابي سعيد الحدري)
“Tidak boleh membahayakan
diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari
Abu Sa’id al- Khudri)
Dalam istishna, kami
mengutip hadist ini karena menurut hadis ini kita dilarang memadharatkan diri
sendiri maupun orang lain, kaitannya dengan istishna adalah bahwa dalam
istishnapun unsur ini dihindari agar tidak ada pihak yang dimudharatkan. Oleh
karena itu, istishna ini tidak bertentangan dengan hadis ini, maka hukum
istishna ini boleh.
Kaidah Fiqih:
الاصل فى المعاملا ت
الاباحة الا ان يد ل د ليل على تحريمها
“Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Dari
Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga
hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk di jual.”(HR Ibnu Majah).
c. Ijtihad
Meningat istishna merupakan lanjutan dari salam maka
secara umum dasar hukum yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna.
Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut keabsahan istishna dengan
penjelasan berikut.
Menurut mazhab Hanafi[7],
istishna termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’
secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan
harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna pokok kontrak itu
belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian mazhab Hanafi
menyetujui kontrak istishna atas dasar istishan karena alesan-alesan berikut
ini[8].
a.
Masyarakat telah memperaktikan istishna secara luas dan
terus menerus tanpa ada keberatan sma sekali. Hal demikian menjadikan istishna
sebagai ijma atau konsensus umum.
b.
Di dalam syariah dimungkinkan adanya peny impangan terhadap qiyas berdasarkan ijma
ulama.
c.
Keberadaan istishna didasarkan kebutuhan masyarakat.
Banyak orang sering kali memerlukan kontrak agar orang lain dapat membuatkan
barang untuk mereka.
d.
Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan
kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagai fuqaha kontemporer berpendapat bahwa istishna
adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli
biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat
penyerahan.
Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis
dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan
ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.
d. Fatwa DSN-MUI
1. Fatwa
No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna. Yang menjelaskan tentang
ketentuan pembayaran, ketentuan barang, dan ketentuan yang terkait dengan jual
beli istishna’.
2. Fatwa
No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishna’ pararel.
3. Aplikasi produk istishna
a. Istishna Pararel
Dalam sebuah kontrak istishna
bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melakukan
kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajiban
pada kontrak pertama, kontrak ini dikenal sebagai istishna pararel.[10]
Secara
landasan hukum istishna pararel sama dengan landasan istishna biasa, dalam
istishna pararel terdapat beberapa tambahan kaidah fiqih yang menjadi landasan
penguatan terhadap pengaplikasian istishna pararel[11]
yaitu:
1. Kaidah fiqih
المشقة تجلب التيسر
“Kesulitan itu dapat menarik kemudahan”
2. Kaidah fiqih
الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة
“Keperluan itu dapat menduduki posisi darurat”
3. Kaidah fiqih
الثا بت بالعرف كا لثا بت با لشر ع
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku
berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).
Ada beberapa
konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna pararel. Diantaranya
sebagai berikut:
a.
Bank
Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak uang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna pararel atau
subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian, sebagai
shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak
pararel.
b.
Penerimaan
subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab atas bank islam
sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan
nasbah pada kontrak pertama akad. Istishna kedua merupakan kontrak pararel,
tetapi bukan merupakan bagian atau syarat kontrak pertama, dengan demikian,
kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c.
Bank
Islam shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengdakan barang,
bertanggung jawab kepada masalah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan
jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan
istishna pararel juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau
ada.
Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan
kostum tim sepak bola sebesar Rp 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh
pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum di pasar biasanya
Rp. 40.000 sedangkan perusahaan itu bias menjual kepada bank dengan harga Rp.
38.000.
Jawaban
Dalam kasus ini,
produsen tidak ingin diketahui modal pembuatan kostum tersebut. Ia hanya ingin
memberikan untung sebesar Rp 2.000 per kostum atau sekitar Rp 1 juta rupiah (Rp
20 juta/Rp 38.000 X Rp 2.000) atau 5 persen dari modal. Bank bias menawar lebih
lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga
pasar.
4.
Kesimpulan
Dengan
demikian, kami menyimpulkan bahwa Istishna merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuatan barang menerima
pesanan dari pembeli. Pembuat harus berusaha melalui orang lain untuk membuat
atau membeli barang menurut spesifikasi yang disepakati atas harga secara
sistem pembayaran: apakah pembayaran di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut mazhab Hanafi hukum istishna adalah boleh (jawaz)
karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada
pihak (ulama) yang mengingkarinya. Oleh karena itu, kami berdasarkan landasan
hukum al-qur’an, hadis, ijtihad maka istishna adalah sah atas dasar qiyas, Dan aturan umum syariah dan berdasarkan Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna. Yang
menjelaskan tentang ketentuan pembayaran, ketentuan barang, dan ketentuan yang
terkait dengan jual beli istishna’.
Kita harus mengetahui terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan antara Istishna dan Salam, dalam persamaannya karena Istishna adalah
kelanjutan dari Salam, maka landasan hukum yang berlaku pada Salam berlaku pula
terhadap ishtishna, dan dalam perbedaannya salah satunya adalah tentang
pembayaran dan sifat kontrak. Jika dalam hal pembayaran dalam salam di bayar saat kontrak,
sedangkan dalam Istishna bisa saat kontrak, diangsur, atau dikemudian hari.
Dalam sifat kontraknya Salam mengikat secara asli (thabi’i) sedangkan istishna
mengikat secara ikutan (thaba’i)
Dalam pengaplikasian istishna sudah terdapat di Lembaga
Keuangan Syari’ah yang disebut sebagai istishna pararel. Dalam praktiknya
istishna pararel sedikit berbeda dengan istishna yang biasa, dalam istishna
pararel tidak hanya mustasni’ dan shani’ saja, akan tetapi melibatkan orang
ketiga. Dalam sebuah kontrak
istishna bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk
melakukan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajiban
pada kontrak pertama.
Download Klik Disini
Laptop asus murah
Laptop asus murah
[1] Ensiklopedi
Ekonomi dan Perbankan Syariah
[2] DR. Muhammad
Syafi’I Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani 2001
[3] Fatwa No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
[4] Fatwa No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
[5] Fatwa No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
[6] Larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan.
[7] Lihat misalnya Burhanudin al-Marghinani, al-hidayah sharh bidayah
al-mubtadi (pakistan: Makhtabar ar-Rashidiyyah); al-kamal ibnu Human fathul
qodir.
[8] Untuk perbandingan pendapat mazhab as-Syafi’i, Hambali, dan Maliki, rujuk
Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ala Mazhahib al- Arba’ah (Beirut; Daril Qalam),
vol 11, hlm, 202 dan sesudahnya tentang salam.
[9] DR. Muhammad
Syafi’I Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani 2001
[10] AAOIFi,
Accounting and Auditing and Governmence Standard for Islamic Financial
Institution, Manama, 1999
[11]
Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli
istishna’ pararel.
No comments:
Post a Comment