JUAL BELI AS-SHARAF
A.
Konsep Jual
Beli Al- Sharf
1.
Pengertian Jual
Beli Al- Sharf
Al-sharf
secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl
(seimbang), penghindaran, pemalingan penukaran, atau transaksi jual beli.[1] Kadang-kadang
Al-Sharf dipahami berasal dari kata Sharafa yang artinya membayar dengan
penambahan. [2]
Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Atau sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu
dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas,, perak dengan perak,
dan emas dengan perak.[3] Dalam
kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan
mata uang (emas dengan emas). [4]Adapun
menurut istilah adalah sebagai berikut:
a.
Menurut istilah fiqh, Al-Sharf adalah jual beli
antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai.
Seperti memperjualbelikan emas dengan emas atau
emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek jual beli
antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.[5]
b.
Menurut Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian
jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang
asing (valuta asing) dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis,
misalnya rupiah dengan rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan
dolar atau sebaliknya.[6]
c.
Menurut
Tim Pengembangan Institut Bankir Indonesia, Sharf adalah jasa yang diberikan
oleh bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut
prinsip-prinsip Sharf yang dibenarkan secara syari'ah.[7]
d.
Adapun
menurut ulama fiqh Sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang
sejenis maupun tidak sejenis.[8]
Dalam literatur klasik, pembahasan ini
ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, atau
dinar dengan dirham. Satu dinar menurut Syauqi Ismail Syahatah (ahli fiqh dari
Mesir), bernilai 4,51 gram emas. Menurut jumhur ulama 1 dinar adalah 12 dirham
dan menurut ulama Madzhab Hanafi, 10 dirham. Perbedaan harga dinar tersebut terjadi
karena fluktuasi mata uang pada zaman mereka masing-masing.[9]
2.
Syarat-Syarat
Al-Sharf
Menurut ulama fiqh, persyaratan yang harus dipenuhi dalam
jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
a. Nilai tukar yang diperjualbelikan
harus telah dikuasai, baik oleh pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya
berpisah badan. Penguasaan tersebut dapat berbentuk penguasaan secara material,
misalnya pembeli langsung menerima dolar Amerika Serikat yang dibeli dan
penjual langsung menerima uang rupiah. Adapun penguasaan secara hukum, misalnya
pembayaran dengan menggunakan cek. Menurut para ahli fiqh, syarat ini untuk
menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak
menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
b. Apabila mata uang atau valuta yang
diperjualbelikan itu dari jenis yang sama, maka jual beli mata uang itu harus
dilakukan dalam mata uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnya sama,
sekalipun model dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah
lembaran Rp50.000,- ditukar dengan uang Rp5000,-. Atau uang kertas ditukar
dengan uang logam.
c. Dalam sharf, tidak boleh
dipersyaratkan dalam akadnya adanya hak khiyar syarat bagi pembeli. Alasannya
adalah selain untuk menghindari riba, juga karena hak khiyar membuat hukum akad
jual beli menjadi belum tuntas. Sedangkan salah satu syarat jual beli sharf
adalah penguasaan valuta yang dipertukarkan sesuai dengan nilai tukar keduanya
oleh masing-masing pihak.
d. Dalam akad sharf tidak boleh ada
tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang saling dipertukarkan, karena
bagi sahnya sharf penguasaan objek akad harus dilakukan secara tunai dan
perbuatan saling menyerahkan itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah
pihak yang melakukan jual beli valuta itu berpisah badan.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zahra (ahli fiqh) dua syarat
terakhir terkait erat dengan syarat pertama. Oleh sebab itu ada beberapa akibat
hukum yang ditimbulkan oleh syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut.
Pertama, ibra
(pengguran hak) atau hibah. Apabila seseorang menjual doalrnya dengan rupiah,
kemudian setelah pembeli menerima dolarnya, penjual menyatakan ibra atau
menghibahkan haknya (rupiah dari pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan, yaitu apabila pembeli menerima ibra, maka gugurlah kewajibannya
untuk menyerahkan rupiah tersebut dan akad sharf menjadi batal. Kemudian
apabila pembeli tidak mau menerima ibra, maka ibra atau hibahnya tidak sah akan
tetapi akad sharf tetap berlaku.
Kedua, apabila
salah satu pihak memberikan sesuatu yang melebihi kewajibannya dalam pertukaran
objek sharf, menurut ulama fiqh itu tidak boleh, karena merupakan riba.
Ketiga, apabila terjadi pengalihan hutang kepada orang lain
(hiwalah), misalnya salah satu pihak menunjuk orang lain untuk menerima atau
menguasai objek sharf secara langsung di majelis akad, menurut ulama fiqh
hukumnya boleh karena penguasaan objek akad sharf tersebut memenuhi syarat
secara sempurna.
Keempat, terjadi saling pengguguran hak atau utang (Al-muqasah).
B.
DASAR
HUKUM JUAL BELI SHARF
1.
Menurut
Al-quran
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan
mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan hanya menjelaskan dasar hukum
jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu:
“Orang-orang yang Makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
2.
Menurut
Al-Hadis
Setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat,
maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas
dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata
uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam
tukar-menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan
perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk kepada
peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak.
Para
Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada
sejumlah hadis nabi yang antara lain pendapat jumhur ulama yang diriwayatkan
oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Abu Said berkata Rasulallah SAW bersabda:
الذَهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالمِلْحُ بِالمِلحِ مَثَلاً
بِمَثَلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَن زَادَ وَاستَزَادَ فَقَد اَربَى الاَخِدُ وَالمُعطِى
سَوَاءٌ (رواه احمد و البخارى)
“emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, garam dengan garam sama-sama dari tangan ke tangan, siapa
yang menambahkan atau minta ditambahkan sungguh ia telah berbuat riba,
pengambil dan pemberi sama.” (HR Ahmad dan Bukhari)
Dalam hadis lain:
عَن
ابِي سَعِيدالخُدرِي قَالَ رَسُولُ الله صَلىّ الله عَلَيهِ وَسَلّم الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالشَّعِيرُ باِلشّعِيرِ وَالتّمرُ
بِالتّمرِ وَالمِلحُ بِالمِلحِ مَثَلًا بِمِثلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَن زَادَ اوَاستَزَادَ
فَقَد اَربَى الاَخِدَ وَالمُعطِى فِيهِ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri Rasulallah SAW bersabda, “Emas
hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari
tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan,
sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima atau pemberi sama-sama
bersalah.” (HR Muslim)
Dalam hadis lain:
لَاتَبِيعُواالذّهَبَ
بِالذّهَبِ اِلّا مَثَلًا بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعضَهَا عَلَى بَعضٍ وَلَا تَبِيعُواالوَرَقَ
اِلّا مَثَلاً بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفّوا بَعضَهَا عَلَى بَعضٍ وَلَا تَبِيعَواغَائِبًا
مِنهَا بِنَا جِزٍ (رواه البخارى ومسلم عن ابى سعيد)
“janganlah kamu menjual emas dengan emas
kecuali sama-sama bilangannya dan janganlah kamu lebihkan sebagian atas
sebagian lainnya, janganlah kamu menjual uang kertas dengan uang kertas kecuali
sama-sama bilangannya dan janganlah kamu lebihkan sebagian dengan sebagian lainnya
dan janganlah kamu menjual barang yang tidak ada di tempat dengan yang sudah
ada di tempat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Said)
Dari beberapa hadis di atas dapat dipahami bahwa hadis pertama dan
ketiga merupakan dalil diperbolehkannya sharf dan tidak boleh ada penambahan
pada suatu barang yang sejenis. Sedangkan dalam hadis kedua selain
diperbolehkannya praktek sharf, juga mengisyaratkan bahwa jual beli tersebut
harus dilakukan secara tunai.
3.
Menurut Ijma
Ulama sepakat
bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:
a. Pertukaran tersebut harus
dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak harus menerima
atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
b. Motif pertukaran adalah dalam rangka
mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa
antar bangsa.
c. Harus dihindari jual beli bersyarat,
misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini dengan syarat B harus
membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.
d. Transaksi berjangka harus dilakukan
dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang
dipertukarkan.
e.
Tidak
dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak
kepemilikan.
4.
Menurut Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN)
Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002: Jual
Beli Mata Uang (al-Sharf)
Pertama: Ketentuan Umum
Transaksi jual beli mata uang pada
prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Tidak
untuk spekulasi (untung-untungan)
2.
Ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3.
Apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh).
4.
Apabila
berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Kedua: Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
1.
Transaksi
Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat
dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai,
sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa
dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ)
dan merupakan transaksi internasional.
2.
Transaksi
Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan
pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24
jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang
digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya
dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward
agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3.
Transaksi
Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga
forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4.
Transaksi
Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk
menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga
dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung
unsur maisir (spekulasi).
Ketiga:
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta, Tanggal: 14 Muharram 1423 H /
28 Maret 2002 M
C.
APLIKASI JUAL BELI SHARF DI PERBANKAN SYARIAH
Perdagangan
valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan perak.[10] Dalam aplikasinya diperbankan syariah, sharf merupakan pelayanan
jasa bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut
prinsip yang dibenarkan syariah. Kebutuhan transaksi valas semakin menguat karena volume transaksi
pembayaran internasional kian meningkat. Di bank syariah, transaksi valas pun
harus memenuhi prinsip pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan
tidak mengandung unsur spekulasi.
Prinsip
utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata uang
secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang
dilakukan untuk berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang
harus dipenuhi untuk melakukan transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk
mata uang yang sejenis, maka nilai nominal harus sama dan secara tunai
(taqabudh).
Untuk
transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan nilai tukar
(kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku. Jenis transaksi valuta asing
dalam perbankan ini terbagi dalam empat kelompok.
Pertama,
transaksi spot dimana penyelesaian paling lambat dua hari. Kedua, transaksi
forward dengan harga waktu mendatang lebih dari dua hari. Ketiga, transaksi
swap dimana kontrak pembelian dan penjualan dengan harga tertentu yang
dikombinasikan. Jenis transaksi terakhir adalah option, dimana merupakan
kontrak untuk memperoleh hak untuk membeli atau menjual yang tidak harus
dilakukan atas sejumlah unit pada harga dan jangka waktu tertentu.
Dari
keempat jenis transaksi tersebut, sharf hanya memperbolehkan transaksi spot
saja karena transaksi tunai. Sedangkan untuk ketiga transaksi lainnya tidak
dibenarkan dalam sharf, karena menggunakan harga yang diperjanjikan
muwa’adah) dan penyerahan dilakukan di kemudian hari.
Contoh produk jual beli salam di bank syariah adalah Produk
Bank Syariah Tukar Bank Note ke Rupiah atau Tukar Rupiah ke TT (Valas).
KESIMPULAN
Jual beli sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu
dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas, perak dengan perak,
dan emas dengan perak. Yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang
diciptakan sebagai patokan harga. Termasuk juga menjual perhiasan dengan
perhiasan dengan uang.
Berdasarkan hadis nabi SAW, para ulama membolehkan praktek jual
beli sharf dengan syarat-syarat tertentu. Syarat keabshan jual beli sharf
adalah bahwa penerimaanya harus di tempat transaksi, dan harus secara tunai
serta tidak boleh ada penambahan pada dua barang yang sejenis untuk menghindari
terjadinya riba.
Kemudian berdasarkan Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002, bahwa jual beli sharf pada
prinsipnya boleh dengan ketentuan-ketentuan: Tidak untuk spekulasi
(untung-untungan), Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan),
Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama
dan secara tunai (at-taqabudh)., dan Apabila berlainan jenis maka harus
dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan
dan secara tunai.
Kemudian mengenai aplikasi jual beli
sharf ini, sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan
internasional, perbankan syariah pun tidak dapat menghindarkan diri dari
keterlibatannya pada pasar valuta asing. Perbankan syariah harus menyusun
pedoman kerja operasional bagi dirinya agar juga mempunyia akses yang luas ke
pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Ghufron A
Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 149.
Murtadho
Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta'min, Terj. Irwan Kurniawan "Asuransi
dan Riba", Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
Dr. Muhammad
bin Ibrahim, dkk., Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Yogyakarta:
Maktabah Al-Hanif, 2009, hlm 115.
M. Abdul
Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995,
hlm. 34.
Heri Sudarsono,
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet Ke 3, Yogyakarta: Adipura, 2004,
hlm. 78.
Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah
Institut Bankir Indonesia, Bank Syari'ah: Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 237.
Gemala Dewi, et.al, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 98.
Prof. Dr. Sutan
Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, 2007, hlm 88.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
(alih bahasa oleh kamaluddin a. marzuki) jilid 12 cet ke-7, Bandung: 1995.
Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011,
hlm 196.
H. Cecep maskanul Hakim, M. Ec., Belajar
Mudah Ekonomi Islam, Bekasi: Shuhuf Media Insani, 2011.
[1] Ghufron A
Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 149.
[2] Murtadho
Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta'min, Terj. Irwan Kurniawan "Asuransi
dan Riba", Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
[3]
Dr. Muhammad bin Ibrahim, dkk., Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4
Madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009, hlm 115.
[4] M. Abdul
Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995,
hlm. 34.
[5] Ghufron A.
Mas'adi, loc.cit.
[6] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet Ke 3, Yogyakarta:
Adipura, 2004, hlm. 78.
[7] Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Bank
Syari'ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan,
2001, hlm. 237.
[8]
Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005, hlm. 98.
[9]
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam dan kedudukannya dalam
Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm 88.
[10]
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta:
Gema Insani, 2011, hlm196.
Download Klik disini
Download Klik disini
No comments:
Post a Comment