HIWALAH
1.
Pengertian Hiwalah
Hiwalah berasal dari kata “hala”
yang berarti perpindahan. Adapun secara bahasa adalah memindahkan hutang dari
tanggungan Muhil (orang yang memindahkan) kepada tanggungan Muhal
‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil). [1]
Dalam kitab Nailul Author, hiwalah berasal
dari kata “Tahwil” artinya pemindahan sedangkan menurut pengertian ulama ahli
fiqh, hiwalah adalah memindahkan utang dari satu tanggungan kepada tanggungan
lain.[2]
Menurut ulama Hanafiah, definisi Hiwalah terdapat dua perbedaan, yaitu
:[3]
a.
Ibnu
Abidin mengemukakan bahwa pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang (muhil) kepada
orang yang berhutang lainnya (Muhal ‘alaih).
b.
Kamal
bin Hummam, bahwa pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang
kepadanya atas dasar saling mempercayai.
Menurut ulama Mailiki, Syafi’i, dan Hanbali, hiwalah adalah
pemindahan atau pengalihan hak untuk
menuntut pembayaran utang dari satu
pihak kepada pihak lain.[4]
Secara sederhana ,menurut Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec bahwa hal
itu dapat dijelaskan bahwa A “muhal” memberi pinjaman kepada B “muhil”,
sedangkan B masih mempunyai utang kepada C “muhal alaih”. Begitu B tidak mampu
membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C.
dengan demikian C harus membayar utang B kepada A, sedangkan C sebelumnya pada
B dianggap selesai.[5]
2.
Landasan
Syari’ah
Hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah
dan ijma.
A. Sunnah
عن أبى هريرة قال : مطل الغني ظام وإذا أتبع
أحدكم على ملئ فليطبع . روه الجماعة
Artinya : Dari Abu Hurairah berkata menunda pembayaran
bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman dan apabila salah seorangan dari
kamu diikutkan (di hiwalah kan) kepada orang yang mampu “kaya”, maka
terimalah. (H.R Jama’ah)[6]
Pada hadist diatas disebutkan , rasullah memberitahukan
kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan
kepada orang yang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan
hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan. Dengan demikian, haknya
dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima
hiwalah dalam hadits tersebut menunjukan wajib. Oleh sebab itu, wajib yang
mengutang menerima hiwalah. Adapun Myoritas ulama berpendapat bahwa perintah
itu menunjukan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya hukumnya meneriman hiwalah bagi
muhal.
B. Ijma
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan
pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hiwalah adalah perpindahan
utang. Oleh sebab itu, harus pada utang atau kewajiban finansial.[7]
3. Rukun-rukun
Menurut mayoritas ulama malikiyyah,
syafi'iyyah, dan hanabillah, rukun hiwalah ada lima, sebagai berikut :[8]
a. Muhil adalah orang yang memindahkan.
b. Muhal adalah orang yang menerima pindahan.
c. Muhal 'alaih adalah orang yang berhutang kepada Muhil.
d. Muhal Bih adalah hutang yang dipindahkan.
Adapun rukun-rukun hiwalah menurut para imam
madzhab, adalah :
A. Madzhab Hanafi
Rukun hiwalah ada 1 macam, yaitu [9]shigat
(ijab dan qabul)
B. Madzhab Syafi'i
Rukun hiwalah ada 6 macam, yaitu [10]:
a. Muhil
b. Muhal
c. Muhal 'alaih
d. Muhal bih
e. Ijab
f. Qabul
C. Madzhab Maliki
Rukun hiwalah ada 3 macam, yaitu [11]:
a. Muhil
b. Muhal bih
c. Shighat (Ijab dan Qabul)
D. Madzhab Hanbali
Rukun hiwalah ada 4 macam, yaitu[12] :
a. Muhil
b. Muhal
c. Muhal 'alaih
d. Muhal bih
4. Syarat-syarat
Syarat-syarat syah hiwalah ada empat, sebagai
berikut[13] :
a. Persamaan dua hak karena hiwalah adalah memindahkan hak. Ia dipindahkan
sebagaimana sifatnya yang ada yang mencakup jenis, sifat, penempatan, dan
tenggang waktu. Jika ada perbedaan antara dua hak menyangkut salah satu dari
hal tersebut, maka hiwalahnya tidak syah.
b. Hiwalah pada hutang yang telah tetap. Tidak syah pada hutang transaksi
salam karena sifatnya tidak tetap, yaitu tranksaksi salam dapat dibatalkan jika
barang yang ditransaksikan bermasalah.
c. Hiwalah dilakukan pada harta yang diketahui. Jika hiwalah terjadi pada hal
jual beli, maka tidak boleh pada barang yang belum diketahui. Jika hiwalah pada
pemindahan hak, maka harus pada barang yang dapat diserah terimakan, sedang
barang yang tidak diketahui tidak dapat diserah terimakan.
d. Hiwalah dilakukan dengan kerelaan muhil dan muhal.
Kemudian menurut pendapat imam madzhab mengenai syarat hiwalah, yaitu :
A. Madzhab Hanafi
Syarat-syaratnya ada empat macam, yaitu[14] :
a. Orang yang berhutang harus memiliki sehat akal. Dengan kata lain, hiwalah
tidak syah apabila dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila.
b. Orang yang berhutang pun harus berakal sehat, sebab apabila berakad itu
mesti berfikir sehat.
c. Orang yang dipindahi hutang perlu sehat akal. Sebagai pemegang amanah.
d. Hutang tersebut diketahui besaran jumlahnya.
B. Madzhab Syafi'i
Syarat-syaratnya ada 6 macam, yaitu[15] :
a. Keridhaan orang yang memindahkan yang ia memikul hutang.
b. Keridhaan orang yang mempunyai hutang.
c. Hutang yang dipindahkan itu diketahui kadar dan sifatnya.
d. Hutang yang dipindahkannya itu merupakan hutan yang dinilai tetap pada masa
yang sedang berjalan dan masa yang akan datang.
e. Hutang yang dipikul oleh orang yang memindahkan hutang itu sama dengan hutang orang yang
dipindahi hutang dalam hal jenis, kadar, masa pembayaran kembali, tempo, utuh,
dan pecahannya.
f. Hutang orang yang memindahkan dan hutang orang yang dipindahi hutang
termasuk hutang yang syah dijual dan digantikan dengan lainnya.
C. Madzhab Maliki
Syarat-syaratnya ada 6 macam, yaitu[16] :
a. Keridhaan orang memindahkan dan orang yang dipindahkan.
b. Orang yang dipindahkan mempunyai hutang yang diderita oleh orang yang
dipindahi hutang.
c. Salah satu dari dua hutang telah tiba masa pembayarannya.
d. Keadaan utang memang merupakan hutang yang tetap.
e. Hutang yang dipikul oleh orang yang memindahkan sama dengan hutang yang
dipikul oleh orang yang dipindahi hutang dalam hal kadarnya dan sifatnya.
f. Dua macam hutang itu, yaitu orang yang memindahkan dan hutang orang yang
dipindahi hutang, tidak dihasilkan dari hasil penjualan makanan.
D. Madzhab Hambali
Syarat-syaratnya ada 3 macam, yaitu[17] :
a. Hutang yang dipindahi itu sama dengan hutang orang yang dipindahi dalam hal
jenis, sifat, masa pembayaran, masa temponya.
b. Kadar dari masing-masing dari dua macam hutang, yaitu hutang yang
dipindahkan dan hutang orang yang dipindahi.
c. Hutang yang dipindahkan itu merupakan hutang tetap.
5. Hakikat
Kalangan hanafiyyah dan malikiyyah baerpendapat
bahwa hiwalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual
hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini
juga merupakan pendapat yang dianggap paling shahih dikalangan syafi'iyyah dan
juga salah satu riwayat dikalanagn hanabilah. Dasarnya adalah hadits :
وإذا أتبع أحدكم على ملئ فليطبع
Artinya : apabila salah seorangan dari kamu
diikutkan (di hiwalah kan) kepada orang yang mampu “kaya”, maka
terimalah. (Muttaqun 'alaih)[18]
Yang shahih menurut Hanabilah bahwa hiwalah
adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya. Ibnu
Qoyyim berkata : kaidah-kaidah syara mendukung dibolehkannya hiwalahnya dan ia
sesuai dengan qiyas.[19]
6. Muhil bebas dari tanggungan
Mayoritas ulama syafi'iyyah dan hanabillah
berpendapat bahwa jika hiwalah telah syah, muhil terbebas dari tanggungan
hutangnya kepada muhal dan tidak ada hak bagi muhal untuk mengembalikna
tanggungan kepada muhil meskipun hak itu sulit diselesaikan karena muhal 'alaih
menunda-nunda, jatuh pailit, atau meninggal dunia.[20]
Malikyyah berpendapat bahwa muhil tidak terbebas dari tanggungan. Muhal boleh
mengembalikan hiwalah kepada muhil jika muhal 'alaih jatuh pailit serta ia tidak mengetahuinya.[21]
Abu hanifah berpendapat bahwa muhal boleh mengembalikan
hiwalah kepada muhil jika muhal 'alaih meninggal dunia dalam kondisi pailit
dengan bersumpah di hadapan hakim. Abu Yusuf dan Muhammad menambahkan, jika
muhal 'alaih mendapat pembatasan untuk membelanjakan hartanya karena jatuh
pailit.[22]
Pendapat yang rajih adalah jika hiwalah
dilakukan dengan kerelaan muhal, sedangkan muhal 'alaih orang yang mampu dan
mau membayar, muhal tidak boleh menarik kembali transaksi kembali transaksi
hiwalah terhadap muhil, karena muhil telah terbebasa dari tanggungan ketika
hiwalah terjadi dan hutang telah terpindahkan darinya. Jika hiwalah dilakukan
tanpa kerelaan muhal sementara muhal
'alaih orang jatuh pailit atau meninggal dunia , muhal boleh menuntut kembali
haknya kepada muhil kareana muhal tidak dapat menunaikan kewajibannya.
Disamping itu, muhal juga tidak wajib menerima hiwalah kepada orang yang tidak
mampu melaksanakan kewajibannya karena dapat merugikan.[23]
7. Aplikasi dalam perbankan
Zaman dahulu, orang-orang melakukan transfer
uang denga cara suftajah yang berasal dari bahsa persi yang diserap menjadi
bahasa arab. Asala mula suftah itu berarti sesuatu yang kokoh. Dinamakan
demikian karena masalah ini sangat kokoh. Malikiyyah menyebutnya dengana
balushah.[24]
Sekarang, kontrak hiwalah dalam perbankan
biasanya diterapkan pada hal-hal berikut
[25]:
a. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memilki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank menagihnya dari pihak
ketiga itu.
b. Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
c. Bill Discounting, secara prinsipnya
serupa dengan hiwalah. Hanya saja, dalam BD, nasabaha harus membayar
fee, sedangkan dalam pembahasan fee tidak didapati dalam akad hiwalah.
8. Manfaat
Akad hiwalah dapat memberikan banyak sekali
manfaat dan keuntungan, diantaranya[26] :
a. Memungkinkanpenyelesaian utang dan piutang dengan cepat.
b. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c. Dapat menjadi salah satu fee-based income "sumber pendapatan non
pembiayaan" bagi bank syari'ah.
9. Resiko
Terdapat resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hiwalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan
memberi invoice palsu atau
wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajibanhiwalah kepada bank.
Daftar Pustaka
Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh
Empat Madzhab, Jilid IV. Semarang :
Asy-Syifa
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh
Muamalah. Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif
Antonio ,Muhammad Syafi’I. 2011. Bank Syariah. Jakarta :
Gema Insani
Muhammad Asy-Syaukani. 1994. Terjemah
Nailul Authar, Jilid V. Semarang :
Asy-Syifa
Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Perbankan Islam. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti
[1] Prof.Dr.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar,
dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 213
[2] Muhammad Asy-Syaukani. 1994. Terjemah
Nailul Authar, Jilid V. Hal 667
[3] Prof.Dr.Sutan Remy Sjahdeini,S.H. 2007. Perbankan
Islam. Hal 93
[4] ibid
[5] Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank
Syariah. Hal 126
[6] Muhammad Asy-Syaukani. 1994. Terjemah
Nailul Authar, Jilid V. Hal 666
[7] Dr.Muhammad
Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank Syariah. Hal 127
[8] Prof.Dr.Abdullah
bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 214
[9] Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh
Empat Madzhab, Jilid IV. Hal 356
[10] Ibid. Hal 360
[11] Ibid. Hal 363
[12] Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh
Empat Madzhab, Jilid IV. Hal 367
[13] Prof.Dr.Abdullah
bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 215
[14] Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Jilid
IV. Hal 357
[15] Ibid. Hal 360
[16] Ibid. Hal 364
[17] Ibid. Hal 367
[18] Prof.Dr.Abdullah
bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 216
[25]
Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank Syariah. Hal 127
No comments:
Post a Comment