Tuesday, April 3, 2012

Wadi'ah


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Dalam perkembangan konsep al-wadi’ah di berbagai dunia Islam dijumpai berbagai bentuk, semakin bervariasi, dan pihak-pihak yang terlibat pun semakin semakin beragam. Misalnya, giro pos dan tabungan yang dikelola oleh pihak perbankan, pada dasarnya merupakan barang titipan yang dapat di ambil setiap saat oleh orang yang menitipkan.
Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
B.      Tujuan
1.     Mengetahui wadi’ah secara spesifik baik dalam definisi, dasar hukum, syarat maupun rukun dan pembagiannya
2.     Mengetehui pengaflikasian dalam perbankan
3.     Dapat mengetahui perhimpunan dana pada bank baik dalam bentuk deposit maupun tabungan
C.      Rumusan Masalah
1.       Apa yang di maksud dengan wadi’ah secara bahsa maupun secara istilah?
2.       Apa saja yang menjadi dasar hukum, syarat, rukun, macam-macam dan manfaat wadi’ah?
3.       Bagaimana pengaflikasian wadi’ah dalam perbankan?
4.       Bagaimana Perubahan Akad al-Wadi’ah dari Amanah menjadi Ad-Dhamanah?
5.       Bagaimana menurut fatwa MUI
BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP TITIPAN  ATAU  SIMPANAN
(DEPOSITORI/AL-WAD’IAH)
A.          Pengertian wadi’ah
Secara bahasa al-wadi’ah  ada dua makna yaitu memberikan dan menerima, seperti seorang berkata, “awda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah Indi) dan makna yang kedua seperti ucapan “aku memberikan harta kepadanya untuk dijaganya” (I’tha’u al-Mal Liyahfadzhu wa fi Qabulihi). [1]
Menurut istilah al-wadi’ah di jelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
1.    Menurut Hasbi Ash-Shidiqie, ialah
عَقْدُ مَوْضُوْعَهُ اِسْتِعَا نَضةُ اْلاِنْسَانِ بِغَيْرِ فِى حِفْظِ مَاِلهِ
”Akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”.[2]
2.     Menurut Syaikh Syihab al-Din al-qalyubi wa Syaikh ‘Umairah, ialah:
اَلْعَيْنُ اَلَّتِى تُوْ ضَعُ عِنْدَ شَخْصٍ لِيَحْفَظَهَا
“Benda yang diletakkan pada orang lain untuk dipeliharanya”.[3]
3.     Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud wadi’ah, ialah:
الْعَقْدُ اَلْمُقْتَضَ لِلْاِسْتِحْفَاظَ
“Akad yang dilakukan untuk penjagaan”. [4]
4.    Menurut ulama Hanafiyah, ialah:[5]
تَسْلِيْطُ الْغَيْرِ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ صِرِيْحًا اَوْدَلَالَةً
“Mengikutsertakan  orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.”
Misalnya, seseorang berkata kepada orang lain, “saya titipkan sepeda saya ini pada anda”; lalu orang itu menjawab ”saya terima”, maka sempurnalah akad al-wadi’ah; atau seseorang menitipkan buku pada orang lain dengan mengatakan  “saya titipkan buku saya ini pada anda, lalu orang yang dititipi diam saja (tanda setuju)”.[6]
5.     Definisi lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah (jumhur ulama), ialah: 
تَوْكِيْلُ فِى حِفْظِ مَمْلُوْكِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
“mewakili orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”[7]
6.     Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.[8]
Jadi Wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai  barang/uang antara pihak yang diberi kepercayaan (mutawda’) dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.[9]
B.      Dasar Hukum Wadi’ah
1.   Qur’an surat Al-baqarah ayat 283 yang artinya:
Artinya:
“jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Dar Al-Quthni dan riwayat Arar bi Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa nabi bersbda:

2.  Hadist Nabi SAW.
مَنْ اَوْدَعَ وَدِيْعَةً فَلَاضَمَا عَلَيْهِ (رواه الدارقطنى)
“Siapa saja yang dititipi, ia tidak bnerkewajiban menjamin” (H.R. Daruqutni)[10]
3.   Ijma
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma (konsensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat.[11]
C.      Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut hanafiyah rukun wadi’ah ada satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti “saya titipkan sepeda ini pada engkau), dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti “saya terima titipan sepeda anda ini”).[12]
Menurut Syafi’iyah memiliki tiga rukun, yaitu
1.   Barang yang dititipkan, syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
2.   Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah balig, berakal, dan sesuai dengan syarat-syarat berwakil.[13]
3.   Shighat ijab dan qabul, disyaratkn pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.[14]

D.      Hukum menerima benda titipan
Hukum asalnya menitipkan dan menerima titipan adalah jaiz,[15] selain itu hukum wadi’ah adalah sebagai berikut:
1.   Sunat ialah nagi orang yang dipercaya kepada dirinya bahwa dia sanggup, menjaga denda-benda yang dititipkan kepadanya.
2.   Wajib ialah menerima benda-benda titipan bagi seserorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda tersebut
3.   Haram ialah apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan
4.   Makruh ialah bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya[16]

E.      Macam Wadiah
Wadiah dapat dibedakan menurut tiga hal: tujuan, praktik dan tanggung jawab[17]
a.      Dari segi tujuan terbagi dua, yaitu:
1)       Al-wadi’ah al-tijariyah, ialah titipan barang dari pemilik kepada pihak lain untuk diperdagangkan, seperti pemilik kendaraan menitipkan mobilnya kepada Showroom
2)       Al-wadi’ah al-adabiyah, ialah menitipkan barang agar dijaga atas dasar kepercayaan.
b.     Dari sisi praktik dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1)       Al-wadiah al-lazimah, ialah penitipan barang Karenna terpaksa seperti gempa bumi.
2)       Al-wadi’ah al-naqishah atau al-wadi’ah al-matsaliyah, ialah wadi’ah ini sama dengan wadi’ah al-tijariyah.
3)       Al-wadi’ah al-jariyah, ialah penitipan alat-alat rumah tangga agar dijag aoleh pihak lain.
4)       Al-wadi’ah al-hirasah, ialah penitipan barang untuk dijaga dengan salah satu dari dua alas an:
a)   Penitipan barang yang bersifat suka rela
b)  Penitipan barang yang bersifat terpaksa
c.      Wadi’ah dari segi tanggung jawab  terbagi dua, yaitu wadiah yad al-dhamanat dan wadi’ah yad al-amanat
1)       Wadi’ah yad al-dhamanat
Wadiah yad al-dhamanat yaitu penitipan barang kepada pihak lain yang selama belum dikembalikan kepada penitip/pemilik, pihak yang menerima titipan diperbolehkan memanfaatkan barang titipan.  Keuntungan dari pemanfaatan barang menjadi hak peneriama titipan barang, dan kepada pemilik dapat diberikan bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya. Akan tetapi jika barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang makatitipan bertanggung jawab atas hal tersebut.
2)     Wadi’ah yad al-amanat
Wadi’ah yad al-amanat Ialah penitipan barang kepada pihak lain dan barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan. Jika terjadi kerusakan maka pihak yang mernerima titipan tidak tertuntut tanggung jawab atas kerusakan tersebut. Ia adalah titipan murni, tetapi sebagai konvensasi tranggungjawab pemeliharaan penitip dapat dikenakan biaya.
Dalam syariah Nasional telah mengeluarkan ketentuan mengenai giro yang dapat diterapkan dalam sistem wadi’ah, yaitu pada fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang berdasarkan wadi’ah ditentukan bahwa:
1.     Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
2.     Titipan (dana) ini bisa diambil kapan saja (on call)
3.     Tak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank.
Sedangkan tabungan diatur dalam fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000.  Pada Fatwa ini, disebutkan mengenai tabungan berdasarkan wadi’ah, yaitu:
1.     Dana yang disimpan di bank adalah bersifat simpanan
2.     Simpanan ini bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
3.     Tak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank.[18]

F.       Perubahan Akad al-Wadi’ah dari Amanah menjadi Ad-Dhamanah
1.     Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia di anggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhamanah).[19]
2.     Orang yang dititipi al-Wadi’ah mengingkari al-wadi’ah itu. Apabila  pemilik barang meminta barang kembali barang titipanya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang disebut terakhir ini mengingkarinya atau ia sembunyikan, sedangkan ia mampu untuk menembalikannya, maka ia dikenakan ganti rugi, hukum ini sepakat seluruh ulama fiqh.[20]
3.     Barang titipan dibawa bepergian (as-safar). Apabila orang yang dititipi melakukan suatu perjalanan yang panjang dan lama, lalu ia bawa barang titipan itu dalam perjalannya, maka penitip barang boleh meminta ganti rugi.[21]

G.     Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghinpunan Dana
1.     Giro dan tabungan atas dasar akad wadi’ah, berlaku syarat sebagai berikut:[22]
a.      Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai penitip dana.
b.     Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
c.      Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah,
d.     Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atau tabungan atas dasar akad wadi’ah, dalam bentuk perjanjian tertulis,
e.      Bank menjamin pengembalian dan titipan nasabah.[23]
2.     Giro atas dasar akad Mudharabah, berlaku syarat sebagai berikut:
a.      Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal),
b.     Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
c.      Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati,
d.     Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atau tabungan atas dasar akad mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis,
e.      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.[24]
3.     Tabungan dan deposito atas dasar akad mudharabah, barlaku syarat-syarat sebagai berikut:
a.      Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal),
b.     Pengelola dana oleh Bank dapat dilakukan sesuai batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakuakan dengan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah mutlaqah),
c.      Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
d.     Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk tabungan  dan deposito atas dasar akad mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis,
e.      Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati.[25]
H.      Aplikasi Wadi’ah dalam Perbankan Syariah
Menagacu pada pengertian yad adh-dhamanah, bank  sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan  al-wadi’ah. Akan tetapi di era perekonomian modern ia tuntut untuk memanfaatkan barang titipan, dan oleh karena itu, sebelum ia memanfaatkannya terlebih dahulu harus meminta ijin kepada penitip selaku pemilik barang. Pihak yang menerima titipan bahwa aset tersebut akan dikembalikan secara utuh kepada pemilik.
Dalam posisi ini, penerima titipan beralih dari yad al-amanah ke yad adh-dhamanah dan wadi’ah jenis terakhir ini yang lebih banyak dipraktikan di perbankan syariah. Wadi’ah yad adh-dhamanah dalam ranah perbankan syariah dipergunakan untuk dua hal: pertama, untuk giro (current account), dan kedua, tabungan (saving account).[26]
I.        Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
Pengaturan mengenai Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) diataur dalam peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 jo. No. 6/9/PBI/2000 tentang sertifikat Bank Indonesia. Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indosia sebagai bukti penitipan dalan jangka pendek dengan prinsip wadi’ah (pasal 1 ayat 4). Selain itu Dewan Syari’ah Majlis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa yang menguatkan SWBI, yaitu fatwa DSN No. 36/ DSN-MUI/ X/ 2002 yang dikeluarkan tanggal 23 Oktober 2002 M atau 16 Sya’ban 1423 Hijriyah.
SWBI merupakan instrument kebijakan moneter yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan kelebihan likuiditas pada bank yang beroperasi dengan prinsip syariah. SWBI mempunyai beberapa kareteristik sebagai berikut:
1.     Merupakan tanda bukti penitipan dana berjangka pendek.
2.     Diterbitkan oleh bank Indonesia.
3.     Merupakan instrument kebijakan moneter dan sarana penitipan dana sementara.
4.     Ada bonus atas transaksi sementara.[27]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep al-wadi’ah yang dibicarakan dalam fiqih Islam, di Indonesia dipraktikan pada bank-bank yang menggunakan sistem syri’at. Seperti di Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah dengan titipan murni yang dengan seijin penitip boleh digunakan oleh bank. Konsep al-wadi’ah yang dikembangkan Bank Muamalat Indonesia adalah wadi’ah yad adh-dhamanah (titipan dengan resiko ganti rugi). Oleh sebab itu,  al-wadi’ah  oleh para fakar fiqh disifati dengan yad al-amanah (dengan resiko ganti rugi).
Konsekuensinya adalah  jika uang itu dikelola pihak Bank Muamalat Indonesia dan mendapatkan keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Disamping itu, atas kehendak Bank Muamalat Indonesia, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan pemilik uang, da[at memberika semacam bonuskepada para nasabah al-wadi’ah. Dalam hal ini praktik al-wadi’ah di Bank Muamalat Indonesia sejlan dengan pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.  

DAFTAR PUSTAKA
·       Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Bandung: PT Raja Grafindo Persada.
·       Hakim, Abdul Atang. 2010. Fiqih Perbankan Syariah. Bandung: Refita aditama.
·       Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
·       Qadamah, Ibnu. 1978.  Al-Mughni, (Riyadh: Muktabarah ar-Riyadh al-Hadithsah), Bairut: Dar al-Fikr.
·       Anshori, Abdul Ghafur. 2009. Hukum Perbankan Syariah.Bandung: PT Refika Aditama.
·       Jahiri, Al-Abdurrahman. 1969. Al-Fiqh ‘Ala mazahib al-‘Arabah
·       Shiddiqie,Hasbi Ash.  1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
·       Sjahdeini, Sutan Remy. 2005.  “Perbankan Islam”. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
·       ‘Umairah, Syaikh Syihab al-Din. Qalyubi Umairah.  (Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah: t.t.).
·       Perwaatmadja, Karnaen dan Muhammad Safi’i Antonio. 1992 . “Apa dan Bagamana Bank Islam”. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
·       Sabiq, Sayyid.  1988 . “Fiqh Sunnah”.  Bandung: Pustaka.
·       Haroen, Nasrun.  2007 . “Fiqh Muamalah”. Jakarta: Gaya Media Pratama,
·       Al-Bajuri, Ibrahim.  Al-Bajuri.  (Usaha Keluarga: Semarang, t.t )
·       Ahmad, Idris. 1986. fiqh al-Syafi’iyah. (Jakarta: Karya Indah)
·       Wirdayaningih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
·       Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. (al-Tahairriyah: Jakarta, 1967).
·       Hakim, Atang Abdul.  2011. Fiqh Perbankan Syari’a. Bandung: PT Refika Aditama.
·       Dewi, Gemala. 2007. Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana.
·        ‘Abidin, Ibnu. Radd Al- Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar. Mesir: al Amiriyah.
·       Al-Khathib, Asy-Syarbaini. 1982. Mughni al-Muhtaj. Bairut: Dar al-Fikr.
·       Ad-Dardir.  Asy-Syarh al-kabir’ala Hasyiyah ad-Dasuqi. Bairut: Dar al-Fikr.
·       Al-Kasani, Imam. al-Bada’i’u ash-Shana’i’u. Bairut: Dar al-Fikr.
·       Al-Humman, Kamal ibn. 1980. Fath Al-Qadir Syarh Al-Hidayah. Bairut: Dar al-Fikr.

Download Klik disini

[1] Abdurrahman al-Jahiri, Al-Fiqh ‘Ala mazahib al-‘Arabah, tahun 1969. Hlm. 248.
[2] Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 88.
[3] Syaikh Syihab al-Din ‘Umairah, Qalyubi Umairah, (Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah: t.t.), hlm. 180.
[4] Ibrahim al-Bajuri, Al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang, t.t ), hal. 62.
[5] Kamal ibn al- Humman, Fath Al-Qadir Syarh Al-Hidayah, Bairut: Dar al-Fikr, Jilid VII, hlm. 88 dan lihat juga Ibnu ‘Abidin, Radd Al- Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar, Jilid IV, hlm. 515.
[6] Sutan Remy Sjahdeini, “Perbankan Islam”, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005, cetakan ke-2, hlm. 56.
[7] Asy-Syarbaini al- Khathib Mughni al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Fikr, jilid III, hlm. 79, dan ad-Dardir, Syarhal-kabir’ala Hasyiyah ad-dasuqi, Bairut: Dar al-Fikr, jilid III, hlm. 419.
[8] Idris Ahmad, fiqh al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah). 1986, hlm. 182.
[9] Wirdayaningih, dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005,  cetakan ke-2, hal. 103
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2002. Hlm. 182
[11] Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Safi’i Antonio, “Apa dan Bagamana Bank Islam”, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 18
[12] Imam Al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, Bairut: Dar al-Fikr, jilid VI, hlm. 207
[13] Ibid. 183
[14] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (al-Tahairriyah: Jakarta, 1967), hlm. 135
[15] Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah”, Bandung: Pustaka, 1988, cetakan ke-1, hlm. 72
[16]  Ibid. 183
[17] Atang Abdul Hakim, Fiqh Perbankan Syari’ah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011, cetakan ke-1, hlm. 207
[18] Op cit. Wirdayaningsih, hlm. 104
[19] As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Jilid XI, hlm. 113
[20] Asy-Syirazi, Al-Muhazzab, jilid I, hlm. 264
[21] Ibnu Qadamah, Al-Mughni, (Riyadh: Muktabarah ar-Riyadh al-Hadithsah), Bairut: Dar al-Fikr, 1978,  hlm. 401
[22] Nasrun Haroen, “Fiqh Muamalah”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, cetakan ke-2, hlm. 250.
[23] Abdul Ghafur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, cetakan ke-1, hlm. 41
[24] Ibid. Hlm. 42
[25] Ibid. Hlm. 43
[26] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2009, cetakan ke-13, hlm. 87
[27] Gemala Dewi, Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, cetakan ke-4, hlm. 113.

No comments:

Post a Comment