Thursday, April 5, 2012

Konsep Istishna


BAI’ AL-ISTISHNA
1.     Konsep Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi antara penjual dan pembeli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’ (produsen), dimana barang yang diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan kriteria yang jelas.
Secara terminologi, istishna itu sendiri adalah minta dibuatkan. Dengan demikian, menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan cirri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya dengan salam adalah pada sistem pembayarannya. Salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedangkan istishna boleh di awal, di tengah, atau di akhir setelah pesanan diterima.
Dalam fatwa DSN MUI, Jual beli istishna merupakan suatu transaksi dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati anatara pemesan dan penjual.
Jual beli istishna adalah jual beli yang belum jelas objek transaksinya, tetapi aka nada/siap sesuai kesepakatan anatara konsumen dan produsen,. Sebagian ulama menyatakan sebagai transaksi yang fasid (rusak), karenanya terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka. Seperti ulama mazhab Syafi’i melarang akad istishna, karena menurut mereka bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku, yaitu objek yang ditransaksikan harus nyata. Menurut mereka akad istishna termasuk ke dalam bai al-ma’dum (jual beli sesuatu yang tidak ada) yang dilarang syara’.
Menurut kami, tujuan transaksi istishna adalah untuk mempermudah nasabah melakukan jual beli terutama dalam hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan nasabah/pembeli tidak cukup biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan kemudahan dalam pembiayaan nasabah kepada penjual.
Mengingat istishna merupakan lanjutan dari jual beli salam, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam berlaku pula pada istishna.
Ulama mazhab Hanafi, membolehkan akad ini, karena didalamnya terdapat kebutuhan orang banyak yang karenanya kebutuhan konsumen tidak selamanya sama dengan barang yang telah diproduksikan, maka akad ini termasuk akad tolong menolong antara konsumen dan produsen.
Ahmad al-Hajal Kurdi, pakar fiqih Universitas Damascus, suriah, memandang pandangan ulama Hanafiah sangat relevan, karena hasil komoditi produksi sesuai dengan pesanan, baik untuk skala local, nasional, mauppun internasional. Karenanya jika akad ini dianggap tidak sah, maka dunia modern dengan kemajuan teknologinya yang memberlakukan akad seperti ini akan menemui kesulitan dan kemadaratan bagi kehidupan manusia secara umum, sementara hukum syara’ bertujuan untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia, maka menurutnya akad ini sulit untuk ditolak, sesuai kaidah ynag mengatakan al ‘adatu muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi hukum).[1]
Menurut jumhur fuqaha, istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad salam. Bisanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad salam.[2]
a.     Rukun dan Syarat Istishna
Rukun.
·       Aqid (orang yang berakad, yaitu shani’ dan mustashni’ yang telah baligh dan mumayyiz)
·       Ma’qud ‘alaih (objek akad berupa mashu’ dan tsaman)
·       Sighat (ijab qabul)
Syarat.
·       Mashnu’ (Menjelaskan jenis, bentuk, kadar, sifat, kualitas, kuantitas) agar lebih jelas mengenai hal yang disebutkan ketentuan tersebut kami rincikan seperti terdapat dalam fatwa DSN tentang ketentuan barang dalam istishna[3].
1.     Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.     Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.     Penyerahan dilakukan kemudian.
4.     Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.     Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.     Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis kesepakatan.
7.     Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
·       Tsaman (Diketahui semua pihak, bias dibayar saat akad, dicicil/ tangguh) dan ketentuan tersebut pula dapat dirincikan berdasarkan fatwa DSN mengenai ketentuan pembayaran dalam istishna’[4].
1.     Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.     Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3.     Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Dalam fatwa DSN selain ketentuan diatas terdapat pula ketentuan lain[5], yaitu sebagai berikut:
1.     Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukum mengikat.
2.     Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna.
3.     Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah.

2.     Landasan Hukum Istishna
a.      Al-Qur’an
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[6]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29)
            Mengapa kami mengutip qur’an surat an-nisa ayat 29, karena menurut kami ayat ini memerintahkan untuk tidak memakan harta sesamu dengan cara yang batil, hubungan dengan istishna adalah dalam pengaplikasiannya kita dilarang untuk bertransaksi dengan cara merugikan orang lain atau tidak saling meridhoi antara kedua pihak, akan tetapi kita harus antarodin (saling meridhoi) dalam istishna jika terjadi wanprestasi maka akad batal karena ada kerugian yang diterima oleh salah satu pihak (bathil). Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku, maksudnya adalah jual beli yang berlaku yaitu istishna, dengan suka sama-suka diantara kamu, maksudnya adalah apabila akad ini disukai berikut dengan ketentuan yang berlaku pada akad ini, dan prestasi antara kedua pihak telah terpenuhi (suka sama-suka) dengan tidak adanya wanprestasi, maka istishna ini menurut kami diperbolehkan berdasarkan ayat ini.
b. As-Sunnah
الصلح جاءز بين المسلمون الا صلحا حرم حلا لا او احل حراما والمسلمون على شروطهم الا شرطا حرم حلالا او احل حرما  (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف)       
"Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
Hadis Nabi:
لاضرار ولاضرار (رواه ابن ماجه والدارقطني وغير هما عن ابي سعيد الحدري)
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al- Khudri)
Dalam istishna, kami mengutip hadist ini karena menurut hadis ini kita dilarang memadharatkan diri sendiri maupun orang lain, kaitannya dengan istishna adalah bahwa dalam istishnapun unsur ini dihindari agar tidak ada pihak yang dimudharatkan. Oleh karena itu, istishna ini tidak bertentangan dengan hadis ini, maka hukum istishna ini boleh.
Kaidah Fiqih:
الاصل فى المعاملا ت الاباحة الا ان يد ل د ليل على تحريمها
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah).

c.      Ijtihad
Meningat istishna merupakan lanjutan dari salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna. Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut keabsahan istishna dengan penjelasan berikut.
Menurut mazhab Hanafi[7], istishna termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishan karena alesan-alesan berikut ini[8].
a.      Masyarakat telah memperaktikan istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sma sekali. Hal demikian menjadikan istishna sebagai ijma atau konsensus umum.
b.     Di dalam syariah dimungkinkan adanya peny      impangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama.
c.      Keberadaan istishna didasarkan kebutuhan masyarakat. Banyak orang sering kali memerlukan kontrak agar orang lain dapat membuatkan barang untuk mereka.
d.     Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagai fuqaha kontemporer berpendapat bahwa istishna adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.
d.     Fatwa DSN-MUI
1.     Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna. Yang menjelaskan tentang ketentuan pembayaran, ketentuan barang, dan ketentuan yang terkait dengan jual beli istishna’.
2.     Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishna’ pararel.
3.     Aplikasi produk istishna
a.     Istishna Pararel
Dalam sebuah kontrak istishna bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melakukan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajiban pada kontrak pertama, kontrak ini dikenal sebagai istishna pararel.[10]
            Secara landasan hukum istishna pararel sama dengan landasan istishna biasa, dalam istishna pararel terdapat beberapa tambahan kaidah fiqih yang menjadi landasan penguatan terhadap pengaplikasian istishna pararel[11] yaitu:
1.     Kaidah fiqih
المشقة تجلب التيسر
“Kesulitan itu dapat menarik kemudahan”

2.    Kaidah fiqih
الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة
“Keperluan itu dapat menduduki posisi darurat”
3.     Kaidah fiqih
الثا بت بالعرف كا لثا بت با لشر ع
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).
            Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna pararel. Diantaranya sebagai berikut:
a.      Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak uang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna pararel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
b.     Penerimaan subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab atas bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasbah pada kontrak pertama akad. Istishna kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat kontrak pertama, dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c.      Bank Islam shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengdakan barang, bertanggung jawab kepada masalah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna pararel juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.

Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepak bola sebesar Rp 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum di pasar biasanya Rp. 40.000 sedangkan perusahaan itu bias menjual kepada bank dengan harga Rp. 38.000.
Jawaban
            Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pembuatan kostum tersebut. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000 per kostum atau sekitar Rp 1 juta rupiah (Rp 20 juta/Rp 38.000 X Rp 2.000) atau 5 persen dari modal. Bank bias menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.
4.     Kesimpulan
            Dengan demikian, kami menyimpulkan bahwa Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuatan barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat harus berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang disepakati atas harga secara sistem pembayaran: apakah pembayaran di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut mazhab Hanafi hukum istishna adalah boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.  Oleh karena itu, kami berdasarkan landasan hukum al-qur’an, hadis, ijtihad maka istishna adalah sah atas dasar qiyas,  Dan aturan umum syariah dan berdasarkan Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna. Yang menjelaskan tentang ketentuan pembayaran, ketentuan barang, dan ketentuan yang terkait dengan jual beli istishna’.
Kita harus mengetahui terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara Istishna dan Salam, dalam persamaannya karena Istishna adalah kelanjutan dari Salam, maka landasan hukum yang berlaku pada Salam berlaku pula terhadap ishtishna, dan dalam perbedaannya salah satunya adalah tentang pembayaran dan sifat kontrak. Jika dalam hal pembayaran dalam salam di bayar saat kontrak, sedangkan dalam Istishna bisa saat kontrak, diangsur, atau dikemudian hari. Dalam sifat kontraknya Salam mengikat secara asli (thabi’i) sedangkan istishna mengikat secara ikutan (thaba’i)
Dalam pengaplikasian istishna sudah terdapat di Lembaga Keuangan Syari’ah yang disebut sebagai istishna pararel. Dalam praktiknya istishna pararel sedikit berbeda dengan istishna yang biasa, dalam istishna pararel tidak hanya mustasni’ dan shani’ saja, akan tetapi melibatkan orang ketiga. Dalam sebuah kontrak istishna bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melakukan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajiban pada kontrak pertama.
Download Klik Disini
Laptop asus murah

[1] Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah
[2] DR. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani 2001
[3] Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
[4] Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
[5] Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
[6] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
[7] Lihat misalnya Burhanudin al-Marghinani, al-hidayah sharh bidayah al-mubtadi (pakistan: Makhtabar ar-Rashidiyyah); al-kamal ibnu Human fathul qodir.
[8] Untuk perbandingan pendapat mazhab as-Syafi’i, Hambali, dan Maliki, rujuk Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ala Mazhahib al- Arba’ah (Beirut; Daril Qalam), vol 11, hlm, 202 dan sesudahnya tentang salam.
[9] DR. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani 2001
[10] AAOIFi, Accounting and Auditing and Governmence Standard for Islamic Financial Institution, Manama, 1999
[11] Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishna’ pararel.

No comments:

Post a Comment