Tuesday, April 3, 2012

Hiwalah

HIWALAH
1.     Pengertian Hiwalah
Hiwalah berasal dari kata hala yang berarti perpindahan. Adapun secara bahasa adalah memindahkan hutang dari tanggungan Muhil (orang yang memindahkan) kepada tanggungan Muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil). [1]
Dalam kitab Nailul Author, hiwalah berasal dari kata “Tahwil” artinya pemindahan sedangkan menurut pengertian ulama ahli fiqh, hiwalah adalah memindahkan utang dari satu tanggungan kepada tanggungan lain.[2]
Menurut ulama Hanafiah, definisi Hiwalah terdapat dua perbedaan, yaitu :[3]
a.      Ibnu Abidin mengemukakan bahwa pemindahan kewajiban membayar  utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (Muhal ‘alaih).
b.     Kamal bin Hummam, bahwa pengalihan kewajiban membayar utang  dari beban pihak pertama  kepada pihak lain yang berhutang kepadanya  atas dasar saling  mempercayai.
Menurut ulama Mailiki, Syafi’i, dan Hanbali, hiwalah adalah pemindahan  atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran  utang dari satu pihak kepada pihak lain.[4]
Secara sederhana ,menurut Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec bahwa hal itu dapat dijelaskan bahwa A “muhal” memberi pinjaman kepada B “muhil”, sedangkan B masih mempunyai utang kepada C “muhal alaih”. Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. dengan demikian C harus membayar utang B kepada A, sedangkan C sebelumnya pada B dianggap selesai.[5]
2.     Landasan Syari’ah
Hiwalah diperbolehkan  berdasarkan sunnah dan ijma.
A.    Sunnah
عن أبى هريرة قال : مطل الغني ظام وإذا أتبع أحدكم على ملئ فليطبع . روه الجماعة
Artinya : Dari Abu Hurairah berkata menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman dan apabila salah seorangan dari kamu diikutkan (di hiwalah kan) kepada orang yang mampu “kaya”, maka terimalah. (H.R Jama’ah)[6]
Pada hadist diatas disebutkan , rasullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan. Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hiwalah dalam hadits tersebut menunjukan wajib. Oleh sebab itu, wajib yang mengutang menerima hiwalah. Adapun Myoritas ulama berpendapat bahwa perintah itu menunjukan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya hukumnya meneriman hiwalah bagi muhal.
B.    Ijma
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hiwalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada utang atau kewajiban finansial.[7]
3.     Rukun-rukun
Menurut mayoritas ulama malikiyyah, syafi'iyyah, dan hanabillah, rukun hiwalah ada lima, sebagai berikut :[8]
a.      Muhil adalah orang yang memindahkan.
b.     Muhal adalah orang yang menerima pindahan.
c.      Muhal 'alaih adalah orang yang berhutang kepada Muhil.
d.     Muhal Bih adalah hutang yang dipindahkan.
Adapun rukun-rukun hiwalah menurut para imam madzhab, adalah :
A.    Madzhab Hanafi
Rukun hiwalah ada 1 macam, yaitu [9]shigat (ijab dan qabul)
B.    Madzhab Syafi'i
Rukun hiwalah ada 6 macam, yaitu [10]:
a.      Muhil
b.     Muhal
c.      Muhal 'alaih
d.     Muhal bih
e.      Ijab
f.      Qabul
C.    Madzhab Maliki
Rukun hiwalah ada 3 macam, yaitu [11]:
a.      Muhil
b.     Muhal bih
c.      Shighat (Ijab dan Qabul)
D.    Madzhab Hanbali
Rukun hiwalah ada 4 macam, yaitu[12] :
a.      Muhil
b.     Muhal
c.      Muhal 'alaih
d.     Muhal bih
4.     Syarat-syarat
Syarat-syarat syah hiwalah ada empat, sebagai berikut[13] :
a.      Persamaan dua hak karena hiwalah adalah memindahkan hak. Ia dipindahkan sebagaimana sifatnya yang ada yang mencakup jenis, sifat, penempatan, dan tenggang waktu. Jika ada perbedaan antara dua hak menyangkut salah satu dari hal tersebut, maka hiwalahnya tidak syah.
b.     Hiwalah pada hutang yang telah tetap. Tidak syah pada hutang transaksi salam karena sifatnya tidak tetap, yaitu tranksaksi salam dapat dibatalkan jika barang yang ditransaksikan bermasalah.
c.      Hiwalah dilakukan pada harta yang diketahui. Jika hiwalah terjadi pada hal jual beli, maka tidak boleh pada barang yang belum diketahui. Jika hiwalah pada pemindahan hak, maka harus pada barang yang dapat diserah terimakan, sedang barang yang tidak diketahui tidak dapat diserah terimakan.
d.     Hiwalah dilakukan dengan kerelaan muhil dan muhal.
Kemudian menurut pendapat  imam madzhab mengenai syarat hiwalah, yaitu :
A.    Madzhab Hanafi
Syarat-syaratnya ada empat macam, yaitu[14] :
a.      Orang yang berhutang harus memiliki sehat akal. Dengan kata lain, hiwalah tidak syah apabila dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila.
b.     Orang yang berhutang pun harus berakal sehat, sebab apabila berakad itu mesti berfikir sehat.
c.      Orang yang dipindahi hutang perlu sehat akal. Sebagai pemegang amanah.
d.     Hutang tersebut diketahui besaran jumlahnya.
B.    Madzhab Syafi'i
Syarat-syaratnya ada 6 macam, yaitu[15] :
a.      Keridhaan orang yang memindahkan yang ia memikul hutang.
b.     Keridhaan orang yang mempunyai hutang.
c.      Hutang yang dipindahkan itu diketahui kadar dan sifatnya.
d.     Hutang yang dipindahkannya itu merupakan hutan yang dinilai tetap pada masa yang sedang berjalan dan masa yang akan datang.
e.      Hutang yang dipikul oleh orang yang memindahkan  hutang itu sama dengan hutang orang yang dipindahi hutang dalam hal jenis, kadar, masa pembayaran kembali, tempo, utuh, dan pecahannya.
f.      Hutang orang yang memindahkan dan hutang orang yang dipindahi hutang termasuk hutang yang syah dijual dan digantikan dengan lainnya.
C.    Madzhab Maliki
Syarat-syaratnya ada 6 macam, yaitu[16] :
a.      Keridhaan orang memindahkan dan orang yang dipindahkan.
b.     Orang yang dipindahkan mempunyai hutang yang diderita oleh orang yang dipindahi hutang.
c.      Salah satu dari dua hutang telah tiba masa pembayarannya.
d.     Keadaan utang memang merupakan hutang yang tetap.
e.      Hutang yang dipikul oleh orang yang memindahkan sama dengan hutang yang dipikul oleh orang yang dipindahi hutang dalam hal kadarnya dan sifatnya.
f.      Dua macam hutang itu, yaitu orang yang memindahkan dan hutang orang yang dipindahi hutang, tidak dihasilkan dari hasil penjualan makanan.
D.    Madzhab Hambali
Syarat-syaratnya ada 3 macam, yaitu[17] :
a.      Hutang yang dipindahi itu sama dengan hutang orang yang dipindahi dalam hal jenis, sifat, masa pembayaran, masa temponya.
b.     Kadar dari masing-masing dari dua macam hutang, yaitu hutang yang dipindahkan dan hutang orang yang dipindahi.
c.      Hutang yang dipindahkan itu merupakan hutang tetap.
5.     Hakikat
Kalangan hanafiyyah dan malikiyyah baerpendapat bahwa hiwalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang dianggap paling shahih dikalangan syafi'iyyah dan juga salah satu riwayat dikalanagn hanabilah. Dasarnya adalah hadits :
وإذا أتبع أحدكم على ملئ فليطبع
Artinya : apabila salah seorangan dari kamu diikutkan (di hiwalah kan) kepada orang yang mampu “kaya”, maka terimalah. (Muttaqun 'alaih)[18]
Yang shahih menurut Hanabilah bahwa hiwalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya. Ibnu Qoyyim berkata : kaidah-kaidah syara mendukung dibolehkannya hiwalahnya dan ia sesuai dengan qiyas.[19]

6.     Muhil bebas dari tanggungan
Mayoritas ulama syafi'iyyah dan hanabillah berpendapat bahwa jika hiwalah telah syah, muhil terbebas dari tanggungan hutangnya kepada muhal dan tidak ada hak bagi muhal untuk mengembalikna tanggungan kepada muhil meskipun hak itu sulit diselesaikan karena muhal 'alaih menunda-nunda, jatuh pailit, atau meninggal dunia.[20]
Malikyyah berpendapat bahwa muhil  tidak terbebas dari tanggungan. Muhal boleh mengembalikan hiwalah kepada muhil jika muhal 'alaih jatuh pailit  serta ia tidak mengetahuinya.[21]
Abu hanifah berpendapat bahwa muhal boleh mengembalikan hiwalah kepada muhil jika muhal 'alaih meninggal dunia dalam kondisi pailit dengan bersumpah di hadapan hakim. Abu Yusuf dan Muhammad menambahkan, jika muhal 'alaih mendapat pembatasan untuk membelanjakan hartanya karena jatuh pailit.[22]
Pendapat yang rajih adalah jika hiwalah dilakukan dengan kerelaan muhal, sedangkan muhal 'alaih orang yang mampu dan mau membayar, muhal tidak boleh menarik kembali transaksi kembali transaksi hiwalah terhadap muhil, karena muhil telah terbebasa dari tanggungan ketika hiwalah terjadi dan hutang telah terpindahkan darinya. Jika hiwalah dilakukan tanpa  kerelaan muhal sementara muhal 'alaih orang jatuh pailit atau meninggal dunia , muhal boleh menuntut kembali haknya kepada muhil kareana muhal tidak dapat menunaikan kewajibannya. Disamping itu, muhal juga tidak wajib menerima hiwalah kepada orang yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena dapat merugikan.[23]

7.     Aplikasi dalam perbankan
Zaman dahulu, orang-orang melakukan transfer uang denga cara suftajah yang berasal dari bahsa persi yang diserap menjadi bahasa arab. Asala mula suftah itu berarti sesuatu yang kokoh. Dinamakan demikian karena masalah ini sangat kokoh. Malikiyyah menyebutnya dengana balushah.[24]
Sekarang, kontrak hiwalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal  berikut [25]:
a.      Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memilki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.     Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.      Bill Discounting, secara prinsipnya  serupa dengan hiwalah. Hanya saja, dalam BD, nasabaha harus membayar fee, sedangkan dalam pembahasan fee tidak didapati dalam akad hiwalah.

8.     Manfaat
Akad hiwalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya[26] :
a.      Memungkinkanpenyelesaian utang dan piutang dengan cepat.
b.     Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c.      Dapat menjadi salah satu fee-based income "sumber pendapatan non pembiayaan" bagi bank syari'ah.

9.     Resiko
Terdapat resiko yang harus diwaspadai  dari kontrak hiwalah  adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice  palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajibanhiwalah kepada bank.




Daftar Pustaka

Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Jilid IV. Semarang : Asy-Syifa
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif
Antonio ,Muhammad Syafi’I. 2011. Bank Syariah. Jakarta : Gema Insani
Muhammad Asy-Syaukani. 1994. Terjemah Nailul Authar, Jilid V. Semarang : Asy-Syifa
Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Perbankan Islam. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti


[1]  Prof.Dr.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 213
[2]  Muhammad Asy-Syaukani. 1994. Terjemah Nailul Authar, Jilid V. Hal 667
[3]  Prof.Dr.Sutan Remy Sjahdeini,S.H. 2007. Perbankan Islam. Hal 93
[4]  ibid
[5]  Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank Syariah. Hal 126
[6]  Muhammad Asy-Syaukani. 1994. Terjemah Nailul Authar, Jilid V. Hal 666
[7]  Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank Syariah. Hal 127
[8]  Prof.Dr.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 214
[9]  Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Jilid IV. Hal 356
[10]  Ibid. Hal 360
[11]  Ibid. Hal 363
[12]  Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Jilid IV. Hal 367
[13]  Prof.Dr.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 215
[14]  Abdulrahman Al Jaziri. 1994. Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Jilid IV. Hal 357
[15]  Ibid. Hal 360
[16]  Ibid. Hal 364
[17]  Ibid. Hal 367
[18]  Prof.Dr.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. 2004. Ensiklopedi Fiqh Muamalah. Hal 216
[19]  Ibid. Hal 216
[20]  Ibid. Hal 218
[21]  Ibid. Hal 218
[22]  Ibid. Hal 219
[23]  Ibid. Hal 219
[24] Ibid. Hal 219
[25] Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank Syariah. Hal 127  
[26]  Dr.Muhammad Syafi’I Antonio,M.Ec. 2011. Bank Syariah. Hal 127









No comments:

Post a Comment